PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR

Keberadaan Undang-Undang Sumberdaya Air No 7/2004 dalam Degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS).

Sejumlah kejadian degradasi lahan di wilayah DAS diperlukan tindakan-tindakan konservasi yang efektif. Keefektifan ini dapat dilihat dari kemudahan bagi pengguna, perencana dan pembuat kebijakan di semua tingkat pelaku dalam pelaksanaannya. Keberadaan Undang-Undang Sumberdaya Air tahun 2004 juga perlu memperhatikan, seperti: (1) Air minum perkotaan dan pedesaan: Pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan air minum bagi masyarakat. Kesempatan tersebut dibuka untuk perusahaan pemerintah untuk mengelola sistem instalasi pipa. kelompok masyarakat juga diberi kesempatan untuk mengembangkan sistem mereka sendiri khususnya di daerah pedesaan, dimana layanan dari pemerintah belum mencapai ke daerah tersebut.

Kedua, Biaya pengunaan SDA. Prinsip penggunaan pembayaran telah diadopsi, namun Undang-Undang tetep diamanatkan sebagai fungsi sosial untuk menerikan pemahaman mengenai pengunaan air. Oleh karena itu, biaya yang ditetapkan untuk pengelolaan air diterapkan dalam biaya pemulihan itu sendiri tetapi harus dilaksanakan secara bertahap mengingat kemampuan dari pengguna.

Untuk irigasi, tidak terdapat biaya tambahan untuk pengunaan air yang diterapkan kepada petani, karena ketahanan pangan harus diprioritaskan dan ketidakadaannya insentif dalam pengunaan air dari pemerintah dalam mendukung pertanian sehingga tidak terdapat biaya untuk pengunaan air bagi petani. Untuk memulainya, telah dibentuk prosedur administrasi baru mengenai pengelolaan air, dan saaai in telah berjalan sejumlah organisasi DAS sebagai projek utama. Prosedur tersebut akan memberikan wewenang kepada organisasi DAS untuk mengumpulkan biaya pengelolaan sumberdaya air sehingga akan ada sejumlah uang secara langsung dari pengguna air untuk mendukung kebutuhan mengelola sumberdaya air.

Ketiga, Kualitas air: Peraturan diperlukan untuk mengontrol kualitas air yang ada, karena pelaksanaannya belum efektif. Diperlukan upaya untuk mengatur ulang lembaga pengelola SDA untuk mendukung keefektivitasan dari peraturan tersebut. Dari penjabaran diatas, dikatakan bahwa Undang-Undang sumberdaya air yang baru hanya merupakan peraturan-pengaturan pokok. Sehingga diperlukan sejumlah peraturan pemerintah lain untuk menguraikan Undang-Undang menjadi berbagai subjek-subjek yang lebih rinci. Hal ini diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dilapangan. Dalam pelaksanaannya diperlukan peraturan yang lebih aturan rinci untuk menjelaskan pokok-pokok permasalah seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden dan keputusan menteri.

Untuk peraturan yang telah ditetapkan, pemerintah harus mengatur kembali agar berjalan lebih efektif dan hal tersebut membutuhkan waktu. Tantangan kedepan adalah bagaimana pemerintah mengelola sumberdaya air yang terbatas ini agar pengelolaannya dapat dimanfaatkan merata untuk seluruh masyarakat di seluruh Indonesia. Menyadari hal tersebut, maka tetap harus ada optimisme dan percaya bahwa reformasi regulasi yang dilakukan pemerintah telah dilakukan di arah yang benar.

Keempat, kemitraan antara pihak pemerintah dan swasta. Sebuah kesempatan terbuka untuk jenis usaha tertentu dalam pengelolaan sumberdaya air, seperti pengembangan jaringan pipa air minum perkotaan, air untuk rekreasi, air untuk energi, dll. Langkah-langkah prosedur yang harus dilakukan untuk jenis kemitraan ini adalah konsultasi publik, izin dari pemerintah, yang pada prinsipnya bertujuan untuk membuat keuntungan maksimum pada sumberdaya air tetapi masih memiliki perhatian bagi kesejahteraan sosial masyarakat (pembangunan berkelanjutan).

Dari keseluruhan dampak degradasi akan pengelolaan sumberdaya air tidak luput dari pemantauan regulasi yang berjalan, sehingga dapat diketahui kinerja lembaga eksekutif dalam menjalankan Undang-Undang. Selain itu masyarakat juga di pandang perlu untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya sumberdaya air yang terbatas ini.(indri)

Selengkapnya...


Share/Bookmark

MITIGASI KERUSAKAN LAHAN PERTAMBANGAN

Dampak kegiatan pertambangan terhadap lingkungan tidak hanya bersumber dari pembuangan limbah, tetapi juga karena perubahan terhadap komponen lingkungan yang berubah atau meniadakan fungsi-fungsi lingkungan (Dyahwanti, 2007). Kerusakan yang terjadi jika tidak segera ditanggulangi akan berdampak lebih buruk kedepannya bagi lingkungan dan menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya penanggulangan atau pengurangan risiko dampak (mitigasi) yang akan ditimbulkan sehingga lahan bekas pertambangan dapat bermanfaat di masa mendatang.

Mitigasi kerusakan lahan akibat aktivitas pertambangan dapat dilakukan melalui kegiatan reklamasi. Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 tahun 2008 yang dimaksud reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menatakegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan peruntukkannya. Selain melakukan upaya penanggulangan kerusakan secara fisik, kimia, dan biologi melalui kegiatan reklamasi, juga dibutuhkan peran serta pemerintah melalui aturan dan kebijakan yang berfungsi sebagai kontrol dan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan tambang dalam melakukan kegiatan reklamasi tambang.

Untuk mencegah timbulnya berbagai kerusakan permanen, pemerintah telah mengeluarkan berbagai aturan dan kebijakan yang menyangkut reklamasi lahan bekas tambang dalam:

  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1969Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pecegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Pertambangan Umum.
  • Keputusan Dirjen Pekerjaan Umum Nomor 336 tahun 1996 tentang Jaminan Reklamasi.
  • Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.


Aturan-aturan mengenai reklamasi ini ditujukan agar pembukaan lahan untuk pertambangan dilakukan seoptimal mungkin, dan setelah digunakan segera dipulihkan fungsi lahannya. Demi tercapainya tujuan melalui aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan maka diperlukan pengawasan secara rutin dan mengevaluasi kemajuan kegiatan reklamasi oleh instansi pemerintah terkait terhadap perusahaan-perusahaan tambang.

Secara teknis usaha reklamasi lahan tambang terdiri dari:

a. Rekonstruksi Lahan

Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu (Rahmawaty, 2002). Menciptakan bentuk lahan yang stabil dan terlihat sesuai dengan landscape alami sekelilingnya serta harmonis dengan pola vegetasi wilayah dan hidrologi permukaan. Landscaping tanpa pengendalian erosi dapat mengakibatkan tanah pucuk hanyut terbawa aliran air. Teknik pengendalian erosi dapat dilakukan dengan cara mendesain lereng selandai mungkin, pada lereng landai dibuat guludan, dan pada lereng curam dibuat teras (Ghose, 2004).

Pengembalian bahan galian ke asalnya (top soil spreading) diupayakan mendekati keadaan aslinya agar memenuhi syarat sebagai media pertumbuhan tanaman. Pada umumnya digunakan material OB atau batuan limbah sebagai dasar, agar memenuhi syarat sebagai media pertumbuhan tanaman, di atas lapisan OB ditaburi dengan tanah pucuk (Ghose, 2004). Untuk mempertahankan kondisi tubuh tanah yang telah diperbaiki, sebaiknya diberi mulsa atau langsung ditanami dengan tanaman penutup tanah (land cover crop) agar mencegah terjadinya erosi.

b. Revegetasi

Kendala yang dijumpai dalam mereklamasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity. Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan mikroriza (Rahmawaty, 2002).

Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, tanaman asli lokal, atau tanaman kehutanan introduksi, dan lain-lain (Izquierdo et al, 2005). Misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Menurut Soesilo (2007 dalam Ridwan, 2007) juga dapat dilakukan penanaman tanaman jarak pagar, selain mampu mereklamasi bekas lahan tambang dalam waktu singkat, tanaman ini juga menghasilkan sumber energi terbarukan berupa biodisel. Untuk menunjang keberhasilan dalam mereklamasi lahan bekas tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk serta bahan amelioran lainnya (Rahmawaty, 2002).

c. Penanganan potensi air asam tambang (AAT) dan remediasi tanah tercemar

Pembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida pada udara bebas. Penanganan air asam tambang dapat dilakukan dengan mencegah pembentukannya dan menetralisir air asam yang tidak terhindarkan terbentuk. Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral sulfida sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak terpapar pada udara bebas. Sebaran sulfida ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung, serta dihindari terjadinya proses pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah (Suprapto, 2008b).

Remediasi tanah bekas tambang yang tercemar dapat dilakukan dengan melakukan ameliorasi. Tindakan ameliorasi dapat meningkatkan proses-proses biogeokimia yang secara efektif dapat menginaktivasi fraksi aktif logam berat pada tanah tercemar. Selain itu, aplikasi beragam amelioran dapat meningkatkan pertumbuhan vegetasi, mempertahankan populasi dan keragaman mikrob, serta menurunkan pengalihan logam berat ke air tanah (Adriano et al. 2004). Salah satu aplikasi ameliorasi yang dapat digunakan yaitu penggunaan zeolit. Ameliorasi menggunakan zeolit alam maupun sintetis dapat menurunkan serapan tanaman terhadap Cu, Cd, Pb dan Zn (Moirou et al. 2001; Oste et al. 2002). Aplikasi 10% w/w zeolit alam clinoptilolite menurunkan kelarutan Cd (32%) dan Pb (38%) pada tanah tercemar bekas lahan tambang (Moirou et al. 2001). Penggunaan zeolit sintetis (mordenite, faujasite, zeolit X, zeolit P, zeolit A) dan zeolit alam clinoptilolite menurunkan kadar Cd dan Zn tanah dan jaringan tanaman (Oste et al. 2002).

d. Penutupan tambang dan kepedulian sosial

Lahan bekas tambang tidak selalu dikembalikan ke peruntukan semula. Hal ini tergantung pada penetapan tataguna lahan wilayah tersebut. Penentuan tataguna lahan pasca tambang sangat tergantung pada berbagai faktor antara lain potensi ekologis lokasi tambang dan keinginan masyarakat serta pemerintah. Bekas lokasi tambang yang telah direklamasi harus dipertahankan agar tetap terintegrasi dengan ekosistem bentang alam sekitarnya (Bapedal, 2001). Tujuan akhir reklamasi lahan pasca penambangan adalah pilihan optimal dari berbagai keadaan dan kepentingan. Selain itu perlu diingat bahwa reklamasi merupakan kepentingan masyarakat banyak, sehingga tujuan reklamasi tidak boleh hanya ditentukan sendiri oleh perusahaan pertambangan yang bersangkutan (Yusuf, 2008). Pada tahap akhir, porsi keterlibatan masyarakat menjadi paling dominan dengan porsi perusahaan yang paling kecil. Proses ini terus berlanjut hingga perusahaan benar-benar lepas dari mekanisme penutupan tambang. Maka, terciptalah daerah baru yang penopang perekonomiannya tidak berasal dari tambang, sehingga harapan terwujudnya pembangunan berkelanjutan bisa tercapai (Eggert, 2001).
Selengkapnya...


Share/Bookmark

MANAJEMEN BANJIR

Dalam rangka mengurangi dampak dari kejadian bencana banjir, maka diperlukan suatu upaya pengelolaan (manajemen) untuk menghadapi masalah banjir. Manajemen banjir dalam artian melakukan pengelolaan dan pengendalian banjir harus dipandang secara utuh (holistic) dan terpadu, sehingga tujuan yang akan dicapai dapat member manfaat secara berkelanjutan. Manajemen banjir terpadu (Integrated Flood Management) adalah proses meningkatkan pendekatan secara terpadu pengelolaan banjir. Dalam hal ini mengintegrasikan lahan dan pengembangan sumberdaya air dalam DAS (manajemen sumberdaya air terpadu), bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan (pemanfaatan) dari penggunaan lahan di dataran banjir dan meminimalkan korban jiwa dari banjir (WMO, 2009).

Gambar 1. Model Manajemen Banjir Terpadu (WMO, 2009)

Manajemen banjir terpadu menyadari bahwa DAS sebagai suatu sistem yang dinamis di mana terdapat banyak interaksi dan fluks antara tanah dan tubuh air. Dalam manajemen banjir terpadu titik awal adalah visi dari DAS yang seutuhnya. Dengan menggabungkan perspektif kehidupan yang berkelanjutan berarti mencari cara untuk bekerja dengan mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan kinerja sistem secara keseluruhan. Aliran air, sedimen dan polutan dari DAS (bagian hulu) masuk ke zona pesisir dapat memiliki konsekuensi yang signifikan. Sebagaimana muara mencakup DAS dan zona pesisir, penting untuk mengintegrasikan pengelolaan zona pesisir dalam manajemen banjir terpadu (WMO, 2009).

Penanggulangan banjir dengan cara-cara konvensional (sebatas-mengusir-air) perlu diubah dengan manajemen banjir terpadu, dengan menentukan komponen-komponen lingkungan apa saja yang ada, yang dapat merupakan faktor tidak terakumulasinya air di satu tempat secara berlebihan dan penghambat aliran permukaan (run off), tetapi memperlancar siklus alami air (natural water recycling). Ini meliputi penggunaan vegetasi yang berfungsi sebagai perangkap atau penahan air, pengontrolan secara alami seperti penanaman tanaman yang menyerap banyak air, pembuatan terasering dan saluran/parit sesuai kontur, tanaman penutup tanah (ground cover), serta langkah preventif seperti normalisasi fungsi saluran, kanal, parit, dsb; pengelolaan sampah (reduce, re-use, and recycle), membuat sumur resapan, pintu pembagi, bak kontrol, perbaikan tata letak, zonasi, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa pola ini menekankan pada sifat yang menyeluruh dalam pendekatannya dan berdasarkan sepenuhnya pada prinsip-prinsip ekologi (Jumantri, 2009).

Gambar 2. Strategi dan Pilihan Untuk Manajemen Banjir (WMO, 2009)
Selengkapnya...


Share/Bookmark

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP BAHAYA BANJIR

Penggunaan lahan berhubungan erat dengan dengan aktivitas manusia dan sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat mengakibatkan tingginya pemanfaatan terhadap sumberdaya lahan. Aktivitas dan kepentingan manusia yang berbeda-beda merupakan hal mendasar terjadinya perubahan suatu penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi tanpa dilakukannya perencanaan dan pengendalian maka akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Sebagai contoh adalah penggunaan lahan berhutan menjadi areal pertanian dan perkebunan yang masih belum mempertimbangkan konsep konservasi lahan. Hal ini mengakibatkan penggunaan lahan menjadi kurang optimal ditinjau dari sisi lingkungan yang akan memberikan konstribusi dalam memperparah bencana kerusakan lahan.

Penggunaan lahan suatu kawasan mempengaruhi hidrologi kawasan tersebut, dan merubah penggunaan lahan berarti merubah tipe dan proporsi tutupan lahan yang selanjutnya mempengaruhi hidrologinya (Suryani, 2005). Dapat dikatakan bahwa perubahan penutup vegetasi berpengaruh terhadap karakteristik limpasan permukaan (runoff). Peningkatan volume limpasan permukaan secara cepat pada periode waktu yang pendek menyebabkan peningkatan debit puncak dan banjir yang parah di daerah hilir (Pratisto dan Projo, 2008). Hal tersebut terjadi karena pada musim penghujan air hujan yang jatuh pada daerah tangkapan air (catchments area) tidak banyak yang dapat meresap ke dalam tanah melainkan lebih banyak melimpas sebagai debit air sungai. Jika debit sungai ini terlalu besar (meningkatnya debit maksimum) dan melebihi kapasitas tampung sungai, maka akan meyebabkan banjir (Agus, et al., 2003).

Perubahan penggunaan lahan dengan pembangunan kota tentunya tidak terhindarkan, mulai dari penggundulan hutan yang digantikan dengan permukaan kedap berupa atap perumahan, jalan-jalan, tempat parkir, bandara, dan sebagainya. Dampaknya secara nyata telah meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir. Tercatat bahwa antara tahun 1981 dan 1999 telah terjadi peningkatan kawasan permukiman untuk Ciliwung Hulu sebesar 100% dengan dampak berupa peningkatan debit banjir di Katulampa sebesar 68%, dan di Depok 24%, sedangkan peningkatan volume banjir adalah 59% untuk Katulampa dan 15% untuk Depok (Pawitan, 2002).

Penelitian Apriyanto (2001) di Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung mengemukakan bahwa dalam periode waktu 1987–1999 perubahan penggunaan lahan di Sub DAS tersebut telah mengakibatkan menurunnya debit minimum harian dan meningkatnya debit maksimum harian karena rendahnya kapasitas DAS menginfiltrasikan air hujan. Wahyunto, dkk. (2001) melaporkan bahwa telah terjadi pengurangan luas lahan hutan dan sawah di daerah aliran sungai (DAS) Citarik sebagai akibat pertambahan penduduk, perkembangan pembangunan dan industri. Perubahan ini menurut Tala’ohu dan Agus (2001) menurunkan daya sangga air DAS tersebut.

Selain perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke pemukiman dan dari tanaman keras ke tanaman semusim, ada lagi perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan menyebakan banjir yaitu penggunaan situ dan rawa untuk pemukiman. Perubahan ini menyebabkan aliran permukaan dari bagian hulunya tidak mempunyai tempat lagi untuk singgah . Aliran permukaan akan langsung mengalir dan menambah aliran dari sekitarnya sehingga menyebakan banjir atau menggenangi pemukiman di daerah bekas situ atau rawa.

Selengkapnya...


Share/Bookmark

DAMPAK BANJIR

Di seluruh Indonesia, tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya berpotensi menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup sungai-sungai induk ini mencapai 1,4 juta hektar.


Gambar 1. Peta Zonasi Ancaman Banjir Di Indonesia


Berdasarkan data dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bahwa dalam kurun waktu tahun 1822 – 2011 di seluruh provinsi di Indonesia tercatat 3.577 kejadian banjir dimana jumlah kejadian banjir yang paling tinggi yaitu pada tahun 2010 sebanyak 1024 kejadian dan jumlah korban jiwa yaitu sebanyak 18.427 orang dimana jumlah korban jiwa yang paling tinggi yaitu pada tahun 1917 sebanyak 15.000 orang.

Sumber: Diolah dari Data dan Informasi Bencana Indonesia (http//:dibi.bnpb.go.id).

Gambar 2. Grafik batang jumlah kejadian bencana banjir dan korban meninggal per provinsi tahun 1822 – 2011.

Sumber: Diolah dari Data dan Informasi Bencana Indonesia (http//:dibi.bnpb.go.id).

Gambar 3. Grafik batang jumlah kejadian bencana banjir dan korban meninggal per tahun 1822 – 2011.

Bencana banjir mengakibatkan kerugian berupa korban manusia dan harta benda, baik milik perorangan maupun milik umum yang dapat mengganggu dan bahkan melumpuhkan kegiatan sosial‐ekonomi penduduk. Selain itu, juga dapat menimbulkan gangguan psikologis bagi penduduk yang terkena bencana.

Dampak banjir tidak hanya dapat diartikan sebagai sebuah bencana. Namun kejadian banjir secara alami pada lingkungan yang alami memberikan dampak yang positif. Banjir merupakan hal yang penting untuk memelihara keanekaragaman hayati, ketersediaan stok ikan, dan kesuburan tanah dataran limpasan banjir, sehingga tidak dapat sepenuhnya dan tidak seharusnya dicegah. Di banyak daerah limpasan sungai, beberapa tanaman panen (seperti jute atau padi “aman” yang ditanam dalam air di Bangladesh) tergantung pada banjir musiman (CIFOR dan FAO, 2005).

Banjir (terutama banjir yang lebih sering/lebih kecil) juga dapat membawa banyak manfaat, seperti pengisian air tanah, membuat tanah lebih subur dan memberikan nutrisi di dalam tanah. Banjir menyediakan sumber daya air yang sangat dibutuhkan khususnya di daerah kering dan semi-kering di mana curah hujan bisa sangat tidak merata sepanjang tahun. Banjir secara khusus memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem di koridor sungai dan merupakan faktor kunci dalam menjaga keanekaragaman hayati (WMO, 2006). Banjir menambahkan banyak nutrisi ke danau dan sungai yang menyebabkan peningkatan perikanan untuk beberapa tahun, juga karena kesesuaian suatu dataran banjir untuk pemijahan (sedikit pemangsa dan banyak nutrisi) (Tockner et al., 2000).

Selengkapnya...


Share/Bookmark

DAMPAK LETUSAN GUNUNG GAMALAMA, BERKAH ATAU BENCANA?

Oleh: Ikqra Mochtar


Ditengah sebagian besar warga Ternate yang tertidur pulas, sekitar pukul 00.30 dini hari tanggal 5 November 2011, kembali Gunung Api Gamalama menunjukan kekuatannya dengan letusan yang disertai dengan material piroklastik (pyroclastic). Dan pada keesokan harinya, seluruh warga Ternate dikejutkan dengan tebalnya abu vulkan yang dikeluarkan Gunung Gamalama.

Banyak diantara kita yang mungkin melihat letusan dan abu vulkan ini menjadi suatu musibah, untuk sebagian lainnya, ini merupakan peringatan alam akan tingkah laku manusia, dan lainnya menganggap kejadian alam biasa karena alam sedang mencari keseimbangannya. Menurut saya ini semua benar namun tergatung darimana kita melihat dan bagaimana kita menyikapinya.

Wilayah Maluku Utara merupakan daerah yang termasuk dalam sabuk vulkan (ring of fire) dimana terdapat empat gunung berapi aktif yaitu Dukono, Gamkonora, Gamalama dan Kie Besi. Gunung Gamalama merupakan gunung api teraktif di Maluku Utara yang ditunjukan oleh pertama kali dilakukan pencatatan letusan dimulai dari tahun 1538 hingga 2011 ini telah meletus ratusan kali. Gunung Gamalama yang memiliki nama lain Piek Van Ternate merupakan tipe gunung api strato yang ditunjukan dengan silih bergantinya letusan antara lava dan bahan piroklastik dimana lava yang keluar melalui retakan membeku sebagai retas (dyke) dan jika menyusup antar lapisan akan membentuk sil (sill). Lava yang mengalir tersendiri dari kawah atau pinggiran kerucut dapat membentuk menyerupai lidah yang menjulur ke bawah.

Puncak Gunung Gamalama menunjukan sisa dari beberapa pematang kawah karena kegiatan gunung apinya bergerak ke arah utara. Sebelah utara dari pematang kawah terdapat pematang kawah lama yaitu puncak Madiena yang tingginya sekitar 1669 m dan puncak Arafat yang tingginya sekitar 100 m, disinilah tempat kawah tempat letusan terjadi. Kawah tersebut berbentuk lonjong yang ditempati tiga buah kawah yang lebih kecil. Terdapat danau kawah disebelah barat daya yaitu Danau Laguna dan barat laut Danau Tolire besar dan Tolire kecil.

Salah satu hasil utama dari tipe letusan Gunung Gamalama yaitu abu vulkanik, dimana jangkauan hujan abu vulkanik ini sangat luas dan arahnya tergantung tiupan arah angin. Jika hujan abu vulkan ini disertai dengan hujan air maka akan terjadi banjir lahar (mudflow).

Dampak yang ditimbulkan dari hujan abu vulkanik ini yaitu adanya pengungsian dari warga yang tinggal di daerah aliran lava, kerusakan fasilitas umum seperti jalan yang dapat menimbulkan kerugian. Lainnya yaitu terganggunya jadwal penerbangan karena ketebalan abu yang menghalangi jarak pandang sehingga para pilot tidak akan mengambil resiko melakukan pendaratan atau take off karena landasan pacu yang dipenuhi oleh abu yang dapat menyebabkan pesawat tergelincir. Dampak lainnya bagi kesehatan, abu vulkan yang mengandung silikat oksida (SiO2) yang tinggi sekitar 49,95 – 60,14 dapat menyebabkan efek jangka pendek seperti iritasi mata hingga sesak napas. Hal ini karena silika memilki struktur yang secara mikroskopis terlihat tajam, dna jika terkena mata kemudian dengan atau tanpa sengaja digosokan akan terjadi iritasi. Jika abu ini terhirup akan menyebabkan sesak napas. Seiring dengan perkembangan penyakit, muncul juga gejala nyeri dada, lemas, kehilangan nafsu makan hingga sesak napas ekstrim. Hal ini dapat dicegah dengan penggunaan masker penutup hidung sehingga dapat mengurangi abu vulkan yang terhirup.

Dampak lainnya secara positif, material debu dapat bermanfaat untuk memperkaya unsur hara dalam tanah karena mengandung P2O5 sebanyak 0 – 0,18; K2O sebanyak 2,00 – 3,58. Debu gunung api juga dapat dijadikan pupuk, pemberantas hama terutama hama tanaman holtikultura seperti ulat dan serangga dan abu vulkan dapat membuat tanah sangat kaya mineral yang dapat menumbuhkan aneka tanaman dengan baik tanpa memerlukan tambahan pupuk namun jika diberikan pupuk organik kondisinya akan semakin prima. Selain itu, material vulkanik berupa pasir dan batu yang mengendap merupakan sumber penghidupan masyarakat yang berprofesi sebagai penambang pasir tradisional. Pasir gunung juga sangat baik sebagai bahan campuran untuk bangunan.

Dari paparan ini, letusan Gunung Gamalama merupakan berkah atau bencana? Hanya masing-masing kita yang dapat menjawabnya. Namun karena kita hidup pada daerah yang berpotensi bahaya tindakan pencegahan terhadap bahaya tersebut mutlak dilakukan hingga tidak menimbulkan bencana dengan upaya tindakan dalam mengurangi resiko bencana. Banyak upaya dalam mengurangi resiko bencana dimana salah satunya yaitu membuat peta daerah rawan gunung berapi dan mensosialisakannya. Selain itu, apa saja yang rentan (vulnerability) terhadap bencana gunung api harus dapat diidentifikasi sehingga dapat meminimalisir korban jiwa maupun materiil jika terjadi suatu kejadian alam.
Selengkapnya...


Share/Bookmark

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT AKTIVITAS PERTAMBANGAN

Manusia dalam mempertahankan hidupnya akan mengelola dan memanfaatkan alam sebagai sumber makanan, pakaian, tempat tinggal, dan berbagai kebutuhan pendukung lainnya yang dibutuhkan secara terus-menerus untuk tetap eksis dan melahirkan suatu peradaban. Segala aktivitas manusia dalam mengelola alam memiliki dampak positif langsung terhadap ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan serta kesejahteraan hidup manusia yang diperoleh dari alam. Namun hal lain yang juga sering timbul secara bersamaan atau dapat muncul dikemudian hari adalah dampak negatif terhadap pemanfaatan alam. Kemampuan manusia yang semakin maju disetiap zamannya dalam mengelola alam, bukan mustahil mengakibatkan terjadinya kerusakan alam. Apalagi kepadatan penduduk yang semakin meningkat, eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam tak dapat dihindari. Salah satu contoh kebutuhan hidup manusia yang juga begitu penting tapi sarat terhadap kerusakan adalah bidang pertambangan.

Kegiatan pertambangan dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Termasuk sebagai dampak positif adalah sumber devisa negara, sumber pendapatan asli daerah (PAD), menciptakan lahan pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan dampak negatif dapat berupa bahaya kesehatan bagi masyarakat sekitar areal pertambangan, kerusakan lingkungan hidup, dan sebagainya.

Kegiatan pertambangan telah memberikan kontribusi besar dalam berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Tambang-tambang batubara, minyak dan gas menyediakan sumber energi, sementara tambang-tambang mineral menyediakan berbagai bahan baku untuk keperluan industri. Bahan-bahan tambang golongan C, seperti batu, pasir, kapur, juga tidak ketinggalan memberikan sumbangan yang signifikan sebagai bahan untuk pembangunan perumahan, gedung-gedung perkantoran, pabrik dan jaringan jalan. Akan tetapi berbeda dengan sumbangannya yang besar tersebut, lahan-lahan tempat ditemukannya bahan tambang akan mengalami perubahan lanskap yang radikal dan dampak lingkungan yang signifikan pada saat bahan-bahan tambang dieksploitasi (Iskandar, 2008).

Pertambangan merupakan salah satu aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang telah dimulai sejak dahulu dan berlanjut hingga sekarang. Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas ini memang sangat besar, khususnya dalam aspek ekonomi. Kendati demikian kerugian yang akan muncul adalah lebih besar dari keuntungan yang telah diperoleh, jika dampak kerusakan yang ditimbulkan dibiarkan tanpa upaya perbaikan.

Aktivitas Pertambangan

Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2010 yang dimaksud dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Bagian Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 disebutkan bahwa pembagian bahan-bahan galian (bahan tambang) terdiri dari:

a. Golongan bahan galian yang strategis atau golongan A berarti strategis untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian Negara. Seperti; minyak bumi, aspal dan lain-lain.

b. Golongan bahan galian vital atau golongan B berarti menjamin hajat hidup orang banyak seperti; emas, besi, pasir besi, dan lain-lain.

c. Golongan bahan yang tidak termasuk dalam golongan A dan B yakni; galian C yang sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, seperti nitrat, asbes, batu apung, batu kali, pasir, tras, dampal dan lain-lain.

Bahan tambang umumnya berada di/dekat permukaan atau jauh di bawah permukaan bumi. Keduanya tertimbun oleh batuan dan tanah di atasnya (Iskandar, 2008). Proses pengambilan bahan tambang pada umumnya dikenal dengan cara penambangan terbuka (surface mining) dan penambangan bawah tanah (underground mining). Masing-masing jenis penambangan memiliki metode yang berbeda dalam mengambil bahan tambang dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkannya pun tentunya berbeda.

Pada umumnya proses pembukaan lahan tambang dimulai dengan pembersihan lahan (land clearing) yaitu menyingkirkan dan menghilangkan penutup lahan berupa vegetasi kemudian dilanjutkan dengan penggalian dan pengupasan tanah bagian atas (top soil) atau dikenal sebagai tanah pucuk. Setelah itu dilanjutkan kemudian dengan pengupasan batuan penutup (overburden), tergantung pada kedalaman bahan tambang berada. Proses tersebut secara nyata akan merubah bentuk topografi dari suatu lahan, baik dari lahan yg berbukit menjadi datar maupun membentuk lubang besar dan dalam pada permukaan lahan khususnya terjadi pada jenis surface mining.

Setelah didapatkan bahan tambang maka dilakukanlah proses pengolahan. Proses pengolahan dilakukan untuk memisahkan bahan tambang utama dengan berbagai metode hingga didapatkan hasil yang berkualitas. Pada proses pemisahan ini kemudian menghasilkan limbah yang disebut tailing. Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang dan kehadirannya dalam dunia pertambangan tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan-batuan yang mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung mineral-mineral berharga. Kandungan mineral pada tailing tersebut disebabkan karena pengolahan bijih untuk memperoleh mineral yang dapat dimanfaatkan pada industri pertambangan tidak akan mencapai perolehan (recovery) 100% (Pohan, dkk, 2007).

Proses akhir dari aktivitas pertambangan adalah kegiatan pascatambang yang terdiri dari reklamasi dan penutupan tambang (mining closure). Setiap perusahaan tambang wajib melakukan hal tersebut sebagaimana telah diatur oleh pemerintah (Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 18 tahun 2008).

Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan

Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung pada metode dan teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan, 2003). Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2002).

Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula (Dyahwanti, 2007).

Secara umum kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan antara lain:

1. Perubahan vegetasi penutup

Proses land clearing pada saat operasi pertambangan dimulai menghasilkan dampak lingkungan yang sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan pertambangan yang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung. Hilangnya vegetasi akan berdampak pada perubahan iklim mikro, keanekaragaman hayati (biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi lahan menjadi terbuka dan akan memperbesar erosi dan sedimentasi pada saat musim hujan.


Gambar 1. Proses land clearing yang mengakibatkan hilangnya vegetasi alami


2. Perubahan topografi

Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan perubahan topografi pada daerah tambang. Areal yang berubah umumnya lebih luas dari dari lubang tambang karena digunakan untuk menumpuk hasil galian (tanah pucuk dan overburden) dan pembangunan infrastruktur. Hal ini sering menjadi masalah pada perusahaan tambang kecil karena keterbatasan lahan (Iskandar, 2010). Seperti halnya dampak hilangnya vegetasi, perubahan topografi yang tidak teratur atau membentuk lereng yang curam akan memperbesar laju aliran permukaan dan meningkatkan erosi. Kondisi bentang alam/topografi yang membutuhkan waktu lama untuk terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas pertambangan dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula.



Gambar 2. Perubahan topografi akibat aktivitas pertambangan


3. Perubahan pola hidrologi

Kondisi hidrologi daerah sekitar tambang terbuka mengalami perubahan akibatnya hilangnya vegetasi yang merupakan salah satu kunci dalam siklus hidrologi. Ditambah lagi pada sistem penambangan terbuka saat beroperasi, air dipompa lewat sumur-sumur bor untuk mengeringkan areal yang dieksploitasi untuk memudahkan pengambilan bahan tambang. Setelah tambang tidak beroperasi, aktivitas sumur pompa dihentikan maka tinggi muka air tanah (ground water table) berubah yang mengindikasikan pengurangan cadangan air tanah untuk keperluan lain dan berpotensi tercemarnya badan air akibat tersingkapnya batuan yang mengandung sulfida sehingga kualitasnya menurun (Ptacek, et.al, 2001).



Gambar 3. Perubahan pola hidrologi pada aktivitas pertambangan


4. Kerusakan tubuh tanah

Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat pengupasan dan penimbunan kembali tanah pucuk untuk proses reklamasi. Kerusakan terjadi diakibatkan tercampurnya tubuh tanah (top soil dan sub soil) secara tidak teratur sehingga akan mengganggu kesuburan fisik, kimia, dan biolagi tanah (Iskandar, 2010). Hal ini tentunya membuat tanah sebagai media tumbuh tak dapat berfungsi dengan baik bagi tanaman nantinya dan tanpa adanya vegetasi penutup akan membuatnya rentan terhadap erosi baik oleh hujan maupun angin. Pattimahu (2004) menambahkan bahwa terkikisnya lapisan topsoil dan serasah sebagai sumber karbon untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah potensial, merupakan salah satu penyebab utama menurunnya populasi dan aktifitas mikroba tanah yang berfungsi penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan tanaman. Selain itu dengan mobilitas operasi alat berat di atas tanah mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar.

Proses pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan tambang juga akan berdampak pada kerusakan tubuh tanah dan lingkungan sekitarnya. Menurut Suprapto (2008a) membongkar dan memindahkan batuan mengandung sulfida (overburden) menyebabkan terbukanya mineral sulfida terhadap udara bebas. Pada kondisi terekspos pada udara bebas mineral sulfida akan teroksidasi dan terlarutkan dalam air membentuk Air Asam Tambang (AAT). AAT berpotensi melarutkan logam yang terlewati sehingga membentuk aliran mengandung bahan beracun berbahaya yang akan menurunkan kualitas lingkungan.

Sementara itu proses pengolahan bijih mineral dari hasil tambang yang menghasilkan limbah tailing juga berpotensi mengandung bahan pembentuk asam (Suprapto, 2008b), sehingga akan merusak lingkungan karena keberadaannya yang bisa jauh ke luar arel tambang.



Gambar 4. (a) Pencemaran AAT dan pengendapan tailing ke sungai yang mempengaruhi daerah di luar areal tambang, (b) Pengendapan tailing Grasberg (Landsat 2003).

Selengkapnya...


Share/Bookmark