KERUSAKAN LAHAN AKIBAT AKTIVITAS PERTAMBANGAN

Manusia dalam mempertahankan hidupnya akan mengelola dan memanfaatkan alam sebagai sumber makanan, pakaian, tempat tinggal, dan berbagai kebutuhan pendukung lainnya yang dibutuhkan secara terus-menerus untuk tetap eksis dan melahirkan suatu peradaban. Segala aktivitas manusia dalam mengelola alam memiliki dampak positif langsung terhadap ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan serta kesejahteraan hidup manusia yang diperoleh dari alam. Namun hal lain yang juga sering timbul secara bersamaan atau dapat muncul dikemudian hari adalah dampak negatif terhadap pemanfaatan alam. Kemampuan manusia yang semakin maju disetiap zamannya dalam mengelola alam, bukan mustahil mengakibatkan terjadinya kerusakan alam. Apalagi kepadatan penduduk yang semakin meningkat, eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam tak dapat dihindari. Salah satu contoh kebutuhan hidup manusia yang juga begitu penting tapi sarat terhadap kerusakan adalah bidang pertambangan.

Kegiatan pertambangan dapat menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Termasuk sebagai dampak positif adalah sumber devisa negara, sumber pendapatan asli daerah (PAD), menciptakan lahan pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan dampak negatif dapat berupa bahaya kesehatan bagi masyarakat sekitar areal pertambangan, kerusakan lingkungan hidup, dan sebagainya.

Kegiatan pertambangan telah memberikan kontribusi besar dalam berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Tambang-tambang batubara, minyak dan gas menyediakan sumber energi, sementara tambang-tambang mineral menyediakan berbagai bahan baku untuk keperluan industri. Bahan-bahan tambang golongan C, seperti batu, pasir, kapur, juga tidak ketinggalan memberikan sumbangan yang signifikan sebagai bahan untuk pembangunan perumahan, gedung-gedung perkantoran, pabrik dan jaringan jalan. Akan tetapi berbeda dengan sumbangannya yang besar tersebut, lahan-lahan tempat ditemukannya bahan tambang akan mengalami perubahan lanskap yang radikal dan dampak lingkungan yang signifikan pada saat bahan-bahan tambang dieksploitasi (Iskandar, 2008).

Pertambangan merupakan salah satu aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang telah dimulai sejak dahulu dan berlanjut hingga sekarang. Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas ini memang sangat besar, khususnya dalam aspek ekonomi. Kendati demikian kerugian yang akan muncul adalah lebih besar dari keuntungan yang telah diperoleh, jika dampak kerusakan yang ditimbulkan dibiarkan tanpa upaya perbaikan.

Aktivitas Pertambangan

Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2010 yang dimaksud dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Bagian Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 disebutkan bahwa pembagian bahan-bahan galian (bahan tambang) terdiri dari:

a. Golongan bahan galian yang strategis atau golongan A berarti strategis untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian Negara. Seperti; minyak bumi, aspal dan lain-lain.

b. Golongan bahan galian vital atau golongan B berarti menjamin hajat hidup orang banyak seperti; emas, besi, pasir besi, dan lain-lain.

c. Golongan bahan yang tidak termasuk dalam golongan A dan B yakni; galian C yang sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, seperti nitrat, asbes, batu apung, batu kali, pasir, tras, dampal dan lain-lain.

Bahan tambang umumnya berada di/dekat permukaan atau jauh di bawah permukaan bumi. Keduanya tertimbun oleh batuan dan tanah di atasnya (Iskandar, 2008). Proses pengambilan bahan tambang pada umumnya dikenal dengan cara penambangan terbuka (surface mining) dan penambangan bawah tanah (underground mining). Masing-masing jenis penambangan memiliki metode yang berbeda dalam mengambil bahan tambang dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkannya pun tentunya berbeda.

Pada umumnya proses pembukaan lahan tambang dimulai dengan pembersihan lahan (land clearing) yaitu menyingkirkan dan menghilangkan penutup lahan berupa vegetasi kemudian dilanjutkan dengan penggalian dan pengupasan tanah bagian atas (top soil) atau dikenal sebagai tanah pucuk. Setelah itu dilanjutkan kemudian dengan pengupasan batuan penutup (overburden), tergantung pada kedalaman bahan tambang berada. Proses tersebut secara nyata akan merubah bentuk topografi dari suatu lahan, baik dari lahan yg berbukit menjadi datar maupun membentuk lubang besar dan dalam pada permukaan lahan khususnya terjadi pada jenis surface mining.

Setelah didapatkan bahan tambang maka dilakukanlah proses pengolahan. Proses pengolahan dilakukan untuk memisahkan bahan tambang utama dengan berbagai metode hingga didapatkan hasil yang berkualitas. Pada proses pemisahan ini kemudian menghasilkan limbah yang disebut tailing. Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang dan kehadirannya dalam dunia pertambangan tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan-batuan yang mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung mineral-mineral berharga. Kandungan mineral pada tailing tersebut disebabkan karena pengolahan bijih untuk memperoleh mineral yang dapat dimanfaatkan pada industri pertambangan tidak akan mencapai perolehan (recovery) 100% (Pohan, dkk, 2007).

Proses akhir dari aktivitas pertambangan adalah kegiatan pascatambang yang terdiri dari reklamasi dan penutupan tambang (mining closure). Setiap perusahaan tambang wajib melakukan hal tersebut sebagaimana telah diatur oleh pemerintah (Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 18 tahun 2008).

Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan

Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung pada metode dan teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan, 2003). Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2002).

Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula (Dyahwanti, 2007).

Secara umum kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan antara lain:

1. Perubahan vegetasi penutup

Proses land clearing pada saat operasi pertambangan dimulai menghasilkan dampak lingkungan yang sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan pertambangan yang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung. Hilangnya vegetasi akan berdampak pada perubahan iklim mikro, keanekaragaman hayati (biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi lahan menjadi terbuka dan akan memperbesar erosi dan sedimentasi pada saat musim hujan.


Gambar 1. Proses land clearing yang mengakibatkan hilangnya vegetasi alami


2. Perubahan topografi

Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan perubahan topografi pada daerah tambang. Areal yang berubah umumnya lebih luas dari dari lubang tambang karena digunakan untuk menumpuk hasil galian (tanah pucuk dan overburden) dan pembangunan infrastruktur. Hal ini sering menjadi masalah pada perusahaan tambang kecil karena keterbatasan lahan (Iskandar, 2010). Seperti halnya dampak hilangnya vegetasi, perubahan topografi yang tidak teratur atau membentuk lereng yang curam akan memperbesar laju aliran permukaan dan meningkatkan erosi. Kondisi bentang alam/topografi yang membutuhkan waktu lama untuk terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas pertambangan dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula.



Gambar 2. Perubahan topografi akibat aktivitas pertambangan


3. Perubahan pola hidrologi

Kondisi hidrologi daerah sekitar tambang terbuka mengalami perubahan akibatnya hilangnya vegetasi yang merupakan salah satu kunci dalam siklus hidrologi. Ditambah lagi pada sistem penambangan terbuka saat beroperasi, air dipompa lewat sumur-sumur bor untuk mengeringkan areal yang dieksploitasi untuk memudahkan pengambilan bahan tambang. Setelah tambang tidak beroperasi, aktivitas sumur pompa dihentikan maka tinggi muka air tanah (ground water table) berubah yang mengindikasikan pengurangan cadangan air tanah untuk keperluan lain dan berpotensi tercemarnya badan air akibat tersingkapnya batuan yang mengandung sulfida sehingga kualitasnya menurun (Ptacek, et.al, 2001).



Gambar 3. Perubahan pola hidrologi pada aktivitas pertambangan


4. Kerusakan tubuh tanah

Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat pengupasan dan penimbunan kembali tanah pucuk untuk proses reklamasi. Kerusakan terjadi diakibatkan tercampurnya tubuh tanah (top soil dan sub soil) secara tidak teratur sehingga akan mengganggu kesuburan fisik, kimia, dan biolagi tanah (Iskandar, 2010). Hal ini tentunya membuat tanah sebagai media tumbuh tak dapat berfungsi dengan baik bagi tanaman nantinya dan tanpa adanya vegetasi penutup akan membuatnya rentan terhadap erosi baik oleh hujan maupun angin. Pattimahu (2004) menambahkan bahwa terkikisnya lapisan topsoil dan serasah sebagai sumber karbon untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah potensial, merupakan salah satu penyebab utama menurunnya populasi dan aktifitas mikroba tanah yang berfungsi penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan tanaman. Selain itu dengan mobilitas operasi alat berat di atas tanah mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar.

Proses pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan tambang juga akan berdampak pada kerusakan tubuh tanah dan lingkungan sekitarnya. Menurut Suprapto (2008a) membongkar dan memindahkan batuan mengandung sulfida (overburden) menyebabkan terbukanya mineral sulfida terhadap udara bebas. Pada kondisi terekspos pada udara bebas mineral sulfida akan teroksidasi dan terlarutkan dalam air membentuk Air Asam Tambang (AAT). AAT berpotensi melarutkan logam yang terlewati sehingga membentuk aliran mengandung bahan beracun berbahaya yang akan menurunkan kualitas lingkungan.

Sementara itu proses pengolahan bijih mineral dari hasil tambang yang menghasilkan limbah tailing juga berpotensi mengandung bahan pembentuk asam (Suprapto, 2008b), sehingga akan merusak lingkungan karena keberadaannya yang bisa jauh ke luar arel tambang.



Gambar 4. (a) Pencemaran AAT dan pengendapan tailing ke sungai yang mempengaruhi daerah di luar areal tambang, (b) Pengendapan tailing Grasberg (Landsat 2003).

Selengkapnya...


Share/Bookmark

REMEDIASI TANAH TERCEMAR LOGAM BERAT

Oleh:
Dr. Ir. Untung Sudadi, M.Sc.
Bagian Kimia dan Kesuburan Tanah
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian IPB


Tanpa intervensi manusia atau tindakan remediasi, proses reklamasi secara alami pada lokasi yang tercemar terjadi dengan laju yang sangat perlahan dan berlangsung selama ratusan tahun bahkan lebih. Sementara itu, lokasi yang tercemar tersebut tetap akan menjadi ancaman bagi kesehatan dan ekosistem (Vangronsveld & Cunningham 1998).

Teknik remediasi tanah tercemar yang paling sesuai untuk suatu lokasi bersifat spesifik terhadap jenis bahan pencemar dan lokasinya. Banyak teknik remediasi tanah tercemar oleh pencemar organik yang dapat diterapkan (misalnya teknik volatilisasi, biodegradasi, dll.), namun tidak banyak pilihan untuk pencemar logam berat karena sifatnya yang tak-terdegradasikan dan relatif imobil. Remediasi tanah tercemar ringan oleh logam berat di kawasan perdesaan juga berbeda dengan yang diterapkan untuk lahan pertanian, kawasan perkotaan atau padat penduduk, kawasan industri ataupun kawasan penambangan dan pe-leburan bijih logam yang tercemar berat.

Remediasi tanah tercemar berat oleh logam berat umumnya membutuhkan biaya mahal. Metode-metode yang diterapkan terutama berbasis teknik rekayasa sipil yang antara lain meliputi pekerjaan ekskavasi terhadap lapisan tanah yang tercemar (excavation) untuk di-timbun (landfilling) di fasilitas pembuangan limbah berbahaya, berbau dan beracun (B3), penimbunan kembali dengan tanah bebas kontaminasi (backfilling) dari lokasi lain dan di-lanjutkan dengan revegetasi. Biaya penerapan teknik excavation-landfilling-backfilling seperti ini di Amerika Serikat untuk tanah sedalam 60 cm mencapai US$ 730 m-2 (Berti & Cunningham 1997). Untuk mereklamasi lokasi ke kondisi yang sehat, dengan demikian, masih diperlukan lagi upaya, waktu dan biaya tambahan. Oleh karena itu, tersedianya me-tode remediasi yang praktis, murah dan tetap efektif dalam melindungi kesehatan dan ling-kungan merupakan alternatif yang berharga.

Salah satu metode alternatif remediasi tanah tercemar logam berat yang semakin mendapat perhatian komunitas ilmuwan dan praktisi remediasi terutama sejak tahun 1990an hingga sekarang adalah teknik in-situ inactivation (Vangronsveld & Cunningham 1998). Metode ini merujuk pada penggunaan amelioran untuk mengubah secara in situ bentuk fisiko-kimia logam berat pada fase larutan dan padatan tanah yang mudah larut menjadi fase padatan yang secara geokimia lebih stabil, sehingga menurunkan dampak negatifnya terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Tindakan ameliorasi dapat meningkatkan proses-proses biogeokimia yang secara efektif dapat menginaktivasi fraksi aktif logam berat pada tanah tercemar. Selain itu, aplikasi beragam amelioran dapat meningkatkan pertumbuhan vegetasi, mempertahankan populasi dan keragaman mikrob, serta menurunkan pengalihan logam berat ke air tanah (Adriano et al. 2004).

Pengujian efektivitas teknik inaktivasi in situ dapat didasarkan pada metode kimia (misal-nya ekstraksi kimia secara selektif atau sekuensial dan adsorpsi-desorpsi) dan metode bi-ologi (misalnya pertumbuhan, produksi biomassa dan metabolisme tanaman, uji ekotoksi-kologi dan populasi mikrob) atau kombinasi keduanya (Boularbah et al. 1996). Analisis datanya dapat didasarkan pada perubahan sifat tanah (seperti kapasitas adsorpsi, kadar total atau kadar fraksi logam berat terekstrak) dan parameter tanaman (seperti bobot biomassa dan kadar logam berat dalam jaringan tanaman) vs jumlah amelioran yang diaplikasikan (Vangronsveld & Cunningham 1998).

Amelioran yang telah diuji efektivitasnya untuk meremediasi pencemaran logam berat da-lam tanah dengan teknik inaktivasi in situ antara lain bahan alkalin, bahan mineral fosfat, hidroksida Fe dan Mn, zeolit dan bahan organik. Termasuk dalam kelompok amelioran ini adalah biosolids yang banyak mengandung bahan organik, hidroksida logam seperti Fe dan Mn serta bahan alkalin.

Bahan alkalin seperti kalsit [CaCO3] dan dolomit [Ca.MgCO3] mengikat H+ yang tersorpsi pada tapak ikatan di permukaan koloid tanah. Tapak yang terbebaskan selanjutnya tersedia bagi sorpsi kation logam berat. Selain meningkatkan pH, aplikasi bahan alkalin juga men-dorong terjadinya reaksi hidrolisis dan kopresipitasi logam dengan karbonat. Namun, penggunaan bahan alkalin hanya efektif dalam jangka pendek, sehingga diperlukan aplikasi berulang untuk mempertahankan logam dalam kondisi inaktif (Pierzynski & Schwab 1993).

Aplikasi TSP dapat menginaktivasi Pb melalui mekanisme pelarutan P dari TSP diikuti pengendapan mineral seperti pyromorphite dalam tanah (Ma et al. 1995). Bahan mineral fosfat seperti hidroksiapatit dan batuan fosfat memiliki potensi dalam menginaktivasi ka-tion logam berat terutama melalui reaksi kopresipitasi. Dalam hal Pb, yang utama adalah pembentukan hydroxy-pyromorphite [Pb5(PO4)3OH] dengan mekanisme utama adsorpsi dan pengompleksan permukaan serta kopresipitasi (Hettiarachchi et al. 2001; Ma 1996). Dalam hal sorpsi Cd pada permukaan hidroksiapatit, mekanisme pertukaran ion dan difusi padatan juga terlibat (Xu & Schwartz 1994).

Hidroksida Mn berperan penting dalam proses adsorpsi dan redoks dalam tanah, sehingga berinteraksi dengan logam berat (Alloway 1995b; Kabata-Pendias & Pendias 2001). Grup birnessite (Na4Mn14O27.9H2O), dicirikan oleh valensi Mn yang beragam dan struktur yang tak teratur, merupakan mineral hidroksida Mn yang paling banyak dijumpai dalam tanah. Logam berat seperti Cd dan Pb membentuk kompleks permukaan inner-sphere dengan birnessite. Pada laju sorpsi yang masih rendah, sorpsi birnessite terhadap kation logam berat terutama terjadi pada batas lapisan melalui mekanisme ujung kristal mineral dengan permukaan oktahedra MnO6.

Oksida Fe merupakan sorbent penting bagi logam berat karena dapat mengadsorpsi ion logam berat dalam larutan dan menjeratnya (Kabata-Pendias & Pendias 2001) melalui reaksi-reaksi yang berkenaan dengan proses dekomposisi, koagulasi dan penataan-kembali adsorbent serta penetrasi ion ke dalam kisi-kisi kristal melalui mekanisme pertukaran dengan komponen kisi-kisi kristal di dekat permukaan mineral (Mench et al. 1998). Misalnya, Cd dan Pb dapat diadsorpsi melalui mekanisme ikatan kimia oleh oktahedra Fe-hidroksida.

Hasil percobaan Sappin-Didier (1997) menunjukkan bahwa kadar fraksi terlarut, dapat ditukar dengan Ca(NO3)2 dan terekstrak EDTA dari Cd, Ni dan Zn dari dua tanah tercemar menurun dengan aplikasi tunggal 1% Fe-hidroksida, namun penurunannya lebih rendah daripada menggunakan Mn-hidroksida dan penggunaan Fe-hidroksida tidak secara umum menurunkan kadar ketiga logam berat tersebut dalam tajuk tanaman uji ryegrass dan tembakau.

Ameliorasi menggunakan zeolit alam maupun sintetis dapat menurunkan serapan tanaman terhadap Cu, Cd, Pb dan Zn (Gworek 1992; Moirou et al. 2001; Oste et al. 2002). Struktur kristal tiga dimensinya yang tak terbatas memungkinkan zeolit memiliki kapasitas pertukaran kation yang besar. Kapasitas ini berasal dari substitusi Al3+ untuk Si4+ pada tetrahedra Si yang menghasilkan tapak tetap bermuatan negatif di seluruh struktur kristalnya. Muatan negatif tersebut diseimbangkan oleh sejumlah ekuivalen kation mobil yang terikat lemah pada struktur kristal dan bersifat bebas untuk dipertukarkan dengan berbagai kation lainnya di larutan. Zeolit juga memiliki karakteristik sebagai penyaring ion. Struktur dalam kristalnya tersusun oleh serangkaian channels dan cages dengan dimensi spesifik yang saling berhubungan sehingga secara selektif dapat menjebak atau menyaring ion bergantung pada ukurannya.

Aplikasi 10% w/w zeolit alam clinoptilolite menurunkan kelarutan Cd (32%) dan Pb (38%) pada tanah tercemar bekas lahan tambang (Moirou et al. 2001). Penggunaan zeolit sintetis (mordenite, faujasite, zeolit X, zeolit P, zeolit A) dan zeolit alam clinoptilolite menurunkan kadar Cd dan Zn tanah dan jaringan tanaman (Oste et al. 2002).

Aplikasi bahan organik akan mengubah spesiasi logam berat dalam larutan tanah dari ionik ke bentuk-bentuk terkompleks, sehingga serapan logam berat oleh akar dan perpindahan-nya ke bagian atas tanaman menurun. Dengan demikian, fitotoksisitas dan akumulasi logam berat ke rantai makanan yang lebih tinggi juga menurun (Mench et al. 1998).

Inaktivasi In Situ Pencemaran Logam Berat dalam Tanah
Keberadaan logam berat seperti Cd, Cu, Pb dan Zn di atmosfer, tanah dan air dapat mengganggu kehidupan semua organisme. Dalam aktivitas produksi pertanian, kepedulian terhadap hal ini berkenaan dengan dampak negatifnya terhadap pertumbuhan tanaman, keamanan, kualitas dan pemasaran produk pangan serta kelestarian fungsi lingkungan lainnya (Islam et al. 2007).

Bioakumulasi logam berat dalam rantai makanan juga berbahaya bagi kesehatan. Proses pendedahannya terutama melalui jalur pencernaan (termakan) dan pernafasan (terhirup). Untuk Pb, Cd dan Hg, hampir separo dari rataan kadar yang terpapar ke tubuh manusia terjadi melalui jalur pencernaan dan berasal dari produk tanaman [buah, sayuran dan biji-bijian] (Islam et al. 2007).

Oleh karena tidak memerlukan pekerjaan ekskavasi, metode inaktivasi in situ sesuai untuk diterapkan di tanah pertanian, antara lain karena: (1) proses inaktivasi yang efektif dalam jangka panjang akan menurunkan kadar fraksi aktif, laju pencucian dan perkolasi logam berat ke air tanah dan perpindahannya ke rantai makanan berikutnya, (2) selanjutnya, pertumbuhan tanaman yang lebih sehat juga akan menstabilkan sifat fisik tanah, dan (3) selain murah, biaya yang diperlukan di Amerika Serikat sekitar US$ 0.02-1.00 m-3 per tahun (Mench et al. 1994), metode ini juga tidak destruktif karena tidak merusak bahan organik, mikrob dan struktur tanah, sehingga dampak negatifnya minimal. Metode ini juga sesuai untuk lokasi dimana teknik excavation-landfilling-backfilling dan stabilisasi menggunakan bahan seperti semen, aspal, lapisan liat (geo-textile) dan kombinasinya tidak efisien untuk diterapkan. Namun, metode ini tidak efektif untuk lokasi yang tanahnya dicirikan oleh kondisi pH, struktur, salinitas, kadar logam berat dan bahan toksik lainnya yang sangat tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman (Vangronsveld & Cunningham 1998).

Aplikasi tiga jenis biosolids yang berbeda dalam hal kadar fraksi Fe dan Mn serta bahan organiknya dengan dosis 112-448 Mg.ha-1 pada tanah tercemar Cd terbukti efektif dalam meningkatkan sorpsi Cd sehingga menurunkan kelarutan atau kadar fraksi aktifnya dalam larutan tanah (Hettiarachchi et al. 2003). Melalui percobaan pencucian, Calace et al. (2005) mendapatkan penurunan kadar fraksi aktif logam berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn dari tanah yang tercemar dengan mengaplikasikan biosolids dari industri bubur kertas yang banyak mengandung bahan organik, karbonat dan silikat.

Aplikasi beragam amelioran fosfat dapat menginaktivasi Pb dalam tanah tercemar secara in situ sebagai mineral Pb-P yang tidak larut, terutama pyromorphite [Pb5(PO4)3Cl,OH,F] (Ma 1996). Dilaporkan oleh Scheckel & Ryan (2004) bahwa ameliorasi 1% asam fosfat dengan masa inkubasi 32 bulan meningkatkan pembentukan piromorfit dari 0% pada tanah kontrol menjadi 45% dari kadar total Pb. Aplikasi kombinasi amelioran Mn+P lebih efektif dalam menurunkan kadar Pb tanah dibandingkan hanya Mn atau P (Hettiarachchi et al. 2000). Kadar Pb pada beberapa tanah tercemar juga menurun dengan ameliorasi bahan yang banyak mengandung Fe (Berti & Cunningham 1997).

Ameliorasi bahan organik terbukti dapat menginaktivasi Pb secara in situ melalui pemben-tukan kompleks tak-larut antara Pb tanah dengan asam-asam organik berbobot molekul tinggi yaitu asam humik dan fulvik (Strawn & Sparks 2000; Geebelen et al. 2002; Brown et al. 2004). Aplikasi biosolids atau kompos biosolids, yang banyak mengandung bahan organik, Fe, P dan Mn, dilaporkan efektif dalam menurunkan kadar fraksi aktif Pb tanah. Dengan dosis 100 g.kg-1 tanah atau 200 ton.ha-1, ameliorasi biosolids pada tanah perkotaan tercemar Pb dengan kadar total 2,000 mg.kg-1 menurunkan kadar fraksi aktif Pb tanah hingga 20-43% (Brown et al. 2004). Sebaliknya, pembentukan asam-asam organik dengan bobot molekul rendah hasil degradasi bahan organik dapat meningkatkan kelarutan Pb tanah (Jin et al. 2005).

Hasil percobaan inaktivasi Pb secara in situ pada 10 tanah tercemar Pb dari berbagai sumber pencemar berbeda menggunakan kalsit, campuran abu siklon dan terak baja (AS+TB) serta batuan fosfat menunjukkan bahwa aplikasi kalsit dan AS+TB lebih efektif dalam menurunkan serapan Pb oleh tanaman uji daripada batuan fosfat (Geebelen et al. 2003). Dalam percobaan ini, serapan Pb berkorelasi positif dengan kadar fraksi Pb tanah yang terlarut dan dapat dipertukarkan terekstrak ekstraktan CaCl2.
Selengkapnya...


Share/Bookmark

MITIGASI KERUSAKAN DAN PENCEMARAN LAHAN BASAH

Pemanfaatan sumberdaya lahan oleh manusia merupakan suatu kebutuhan yang tak terpisahkan dari kehidupan. Kebutuhan akan lahan berhubungan erat dengan kebutuhan manusia berupa pangan, sandang, dan papan serta energi. Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat mengakibatkan tindakan pemanfaatan sumberdaya lahan pun semakit pesat. Permintaan terhadap lahan untuk berbagai bidang kehidupan, salah satunya lahan pertanian menjadi semakin meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan basah (dalam hal ini rawa dan gambut) menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian.

Lahan basah memiliki keunikan tersendiri dan khas dibanding sumberdaya lahan lainnya. Lahan basah pada umumnya merupakan wilayah yang sangat produktif dan mempunyai keanekaragaman yang tinggi, baik keanekaragaman hayati maupun non hayati, sehingga diyakini bahwa lahan basah merupakan salah satu sistem penyangga kehidupan yang sangat potensial. Meskipun lahan basah dapat dimanfaatkan untuk penggunaan lahan lainnya, namun dalam pemanfaatannya manusia seringkali mengedepankan fungsi produksi dibandingkan dengan fungsi lingkungan. Hal ini menjadi penyebab terjadinya kerusakan dan pencemaran serta kehilangan lahan basah sehingga tak dapat menjalankan fungsi lingkungannya.

Lahan Basah

Lahan Basah (wetlands) adalah salah satu ekosistem yang paling penting di bumi karena kondisi hidrologi yang unik dan perannya sebagai ecotones (zona peralihan) antara sistem daratan dan perairan (Mitsch dan Gosselink, 1993).

Berdasarkan hasil Konvensi Ramsar 1971, pengertian lahan basah secara internasional adalah:

“Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut”.

Pengertian di atas menunjukkan bahwa cakupan lahan basah di wilayah pesisir meliputi terumbu karang, padang lamun, dataran lumpur dan dataran pasir, mangrove, wilayah pasang surut, maupun estuari; sedang di daratan cakupan lahan basah meliputi rawa-rawa baik air tawar maupun gambut, danau, sungai, dan lahan basah buatan seperti kolam, tambak, sawah, embung, dan waduk. Untuk tujuan pengelolaan lahan basah dibawah kerangka kerjasama Internasional, Konvensi Ramsar, mengeluarkan sistem pengelompokan tipe-tipe lahan basah menjadi 3 (tipe) utama yaitu (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004):

  1. Lahan basah pesisir dan lautan, terdiri dari 11 tipe antara lain terumbu karang dan estuari.
  2. Lahan basah daratan, terdiri dari 20 tipe antara lain sungai dan danau.
  3. Lahan basah buatan, terdiri dari 9 tipe antara lain tambak dan kolam pengolahan limbah.

Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta zat hara. Proses yang terjadi antar-komponen dan di dalam tiap komponen membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu, dapat membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal khas pada skala ekosistem (Notohadiprawiro, T., 1997).

Fungsi dan nilai lahan basah antara lain adalah mengatur siklus air, menyediakan air permukaan dan air tanah, serta mencegah terjadinya banjir dan kekeringan. Seiring dengan pesatnya pembangunan di berbagai sektor, keberadaan potensi sumberdaya air di kawasan lahan basah (kawasan gambut, kawasan resapan air, sempadan sumber air, pantai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan pantai berhutan bakau, dan rawa) menjadi semakin terancam kelestariannya.

Kekhasan pemandangan lahan basah dan bentuk kehidupan yang ada di dalamnya menarik wisata alam (Dugan, 1990). Tampakan-tampakan khas lahan basah berupa keanekaragaman hayati, warisan alam dan pemandangan rekreatif memunculkan kebutuhan akan mempertahankan keutuhan lahan basah.

Kerusakan dan Pencemaran Lahan Basah

Pada awalnya lahan basah dijauhi karena merupakan sarang nyamuk yang dapat menimbulkan penyakit malaria. Dengan alasan ini pula merupakan salah satu penyebab terjadinya pembukaan lahan basah untuk memberantas sarang nyamuk dan penyakit yang ditimbulkannya. Sekitar akhir 1800-an lahan basah dianggap sebagai penyebab nyamuk malaria, sehingga kegiatan untuk pengeringan lahan basah menjadi luas. Seiring dengan perkembangan teknologi tahun-tahun berikutnya, kerugian dan kerusakan dari lahan basah semakin terus bertambah karena alasan tersebut, dan sebagai alasan untuk mendapatkan lahan pertanian, membuka pemukiman dan lain-lain, yang tergambar pada kontrol dan eksploitasi alam oleh manusia, meletakkan dasar bagi pemberantasan lahan basah (Caliskan, 2008). Lahan basah telah dikeringkan, berubah menjadi lahan pertanian dan perkembangan komersial dan residensial pada tingkat yang mengkhawatirkan (Mitsch dan Gosselink, 1993).

Konversi lahan basah yang telah berlangsung berabad-abad di berbagai bagian dunia telah merusakkan jutaan hektar lahan basah, terutama di negara-negara industri. Pengembangan pertanian paling banyak menghilangkan lahan basah (Notohadiprawiro, 1996). Sebagai contoh, Sejak kedatangan orang Eropa ke Amerika, setengah dari lahan basah di AS telah hilang (Özeesmi, 1997 dalam Caliskan, 2008). Meskipun nilai intrinsiknya besar, lahan basah telah kehilangan sistem tanahnya di bawah penggunaan manusia, sehingga sebagian besar lahan basah di Eropa, dan Mediterania pada khususnya, telah hilang (Hollis, 1995). Di Spanyol, diperkirakan bahwa lebih dari 60% dari lahan basah telah hilang dalam 50 tahun terakhir. Semenanjung Iberia barat tengah 94% dari lahan basah asli menghilang pada periode antara 1896 dan 1996 (Gallego-Fernandez, et al., 1999.

Potensi lahan basah cukup baik untuk usaha pertanian, perikanan, kehutanan, dan peternakan. Di Indonesia sejak tahun 70-an pemerintah telah melakukan pengembangan berbagai usaha tersebut di lahan basah di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua melalui kegiatan pengembangan pemukiman, namun sayang, tidak semua wilayah pengembangan berhasil, banyak juga yang tidak berkembang (mal-developed). Ekosistem lahan basah sebelum dibuka memberikan banyak hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar, berbagai jenis ikan dan hasil-hasil lainnya. Setelah lahan tersebut dibuka, hasil-hasil tersebut menurun drastis akibat berbagai masalah lingkungan di lahan yang dibuka maupun di lahan lain di sekelilingnya. Berbagai masalah lingkungan tersebut antara lain masalah penurunan permukaan tanah (subsidence), penurunan pH tanah dan badan air oleh karena sulfat masam, banjir, kekeringan, kebakaran hutan gambut, dan sebagainya. Beberapa masalah tersebut merupakan bencana nasional. Akibatnya secara umum daya dukung lahan bagi kehidupan menurun drastis (Poniman, dkk., 2006.

Penyusutan luas kawasan lahan basah di daerah padat penduduk terjadi akibat kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian, dan industri. Hal tersebut seperti antara lain menyebabkan terjadinya upaya reklamasi dengan menimbun ekosistem pantai dan rawa serta pembelokan, penyempitan, maupun pelebaran sungai untuk pembangunan infrastruktur. Di samping itu penyusutan juga terjadi di kawasan hutan dan kawasan yang dilindungi, hal ini umumnya terjadi akibat bencana alam seperti kebakaran dan juga akibat ketidakjelasan tata batas kawasan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004.

Kerusakan lahan basah juga bisa berupa pencemaran yang kemudian menyebabkan perubahan kesetimbangan ekologis lahan basah, sedimentasi danau dan rawa, masuknya invasive alien spesies, dan pengurasan sumberdaya akibat pemanfaatan berlebih. Kerusakan yang terjadi menyebabkan banyak kawasan lahan basah terutama rawa dan danau mengalami pendangkalan, eutrophikasi, hilangnya spesies asli, dan menurunnya kesejahteraan masyarakat (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004.

Pada daerah tertentu, aktivitas yang dilakukan dalam upaya untuk pengembangan atau kelangsungan hidup dapat menyebabkan pencemaran. Pencemaran lahan basah menimbulkan ancaman serius terhadap struktur dan fungsi ekosistem lahan basah (Mitsch dan Gosselink, 2000; Lamers et al, 2002. Pencemaran pada lahan basah terjadi tiada lain akibat aktivitas manusia (human-induce) yang berada baik di dalam maupun di luar lingkungan lahan basah. Pada umumnya sumber pencemaran berasal dari aktivitas manusia yang menghasilkan limbah buangan (residu) dan polutan yang dibuang sembarangan. Kebanyakan pencemaran terjadi pada badan air sehingga menurunkan kualitas air.

Lahan basah yang telah menjadi korban pencemaran sebagian besar berdekatan dengan daerah berikut (Mkuula, 1993):

  1. Pusat-pusat perkotaan; Pesatnya pembangunan dan peningkatan penduduk merambah sebagian lahan basah sebagai bagian dari perkotaan. Proses urbanisasi yang cepat mempengaruhi pencemaran yang semakin parah akibat pembuangan sampah (limbah padat) dan limbah cair yang berasal dari penduduk, domestik, dan industri.
  2. Daerah yang dekat industri berpolusi besar, seperti pengolahan sisal (serat; Industri merupakan sumber utama polusi air, udara dan tanah. Limbah industri dapat mengandung logam berat seperti merkuri, timbal krom, dan kadmium; garam sianida, nitrit dan nitrat, bahan organik, mikro-organisme dan nutrisi, bahan kimia dan beracun seperti pestisida.
  3. Daerah di mana pertambangan merupakan sarana utama pendapatan; Sumberdaya yang terkandung di lahan basah sangat potensial untuk dikelola khususnya pertambangan. Tak jarang kita temui lokasi tambang yang berada di sekitar lahan basah. Pencemaran yang timbul dari kegiatan pertambangan sangat memprihatinkan. Dengan munculnya pengeboran gas alam dan mungkin minyak di wilayah pesisir, mungkin ada dampak negatif yang sangat besar pada laut terutama rapuhnya lahan basah, dan pesisir. Pada skala pertambangan besar yang terorganisir, dampak lingkungan relatif mudah untuk dicegah dan dikendalikan. Namun, pertambangan skala kecil tidak terorganisir dan tidak terkendali telah melakukan kerusakan luar biasa untuk lingkungan. Overburden merupakan sampah utama yang dihasilkan oleh industri pertambangan. Fraksi komoditi yang berguna biasanya sangat kecil, dan sisanya adalah batu dan tanah sampah yang dibuang tanpa memperhatikan lingkungan.
  4. Daerah di mana aplikasi pestisida sangat luas; Pestisida menimbulkan masalah pencemaran lingkungan ketika dibuang ke lingkungan karena beracun bagi banyak spesies non-target. Beberapa pestisida tetap aktif untuk waktu yang lama atau dapat terurai menjadi senyawa yang lebih beracun. Sumber-sumber pencemaran pestisida berasal dari penyimpanan dan pengelolaan yang tidak. Kurangnya kesadaran akan bahaya terkait dengan penanganan pestisida semakin merumitkan masalah. Air adalah penerima utama polutan pestisida. Sekitar 50% dari pestisida yang disemprotkan ke tanaman jatuh di tanah atau terbawa oleh angin dan memasuki badan air melalui air hujan atau irigasi. Beberapa pestisida akhirnya mencemari air minum.

Mitigasi Kerusakan dan Pencemaran Lahan Basah

Dalam pengertian umum, mitigasi berarti mengurangi kerusakan lingkungan dengan menghindari, meminimalkan, dan kompensasi untuk kegiatan yang merusak atau menghancurkan sumber daya yang dilindungi (Anonim, 2003).

Ada tiga jenis mitigasi umumnya diakui sebagai metode yang dapat diterima untuk mengkompensasi dampak kerusakan lahan basah: restorasi (restoration), penciptaan (creation), dan peningkatan (enhancement). Restorasi lahan basah mengacu pada pembentukan kembali (reestablishment) dari lahan basah di suatu daerah di mana secara historis lahan basah ada tapi yang nampak sekarang sedikit atau tidak adanya fungsi lahan basah. Penciptaan (creation) lahan basah mengacu pada pembuatan lahan basah di daerah yang bukan lahan basah di masa lalu. Peningkatan (enhancement) mengacu pada peningkatan satu atau lebih fungsi dari ada lahan basah (Kruczynski, 1990).

Dalam konteks lahan basah, mitigasi sering diartikan sebagai kompensasi, dan berarti restorasi, penciptaan, peningkatan, atau beberapa tindakan lain yang dilakukan untuk tujuan spesifik dari kompensasi untuk kerusakan atau kehancuran lahan basah (Anonim, 2003). Selain dari ketiga metode yang umumnya dilakukan dalam kegiatan mitigasi lahan basah, menurut Morgan dan Robert (1999) metode yang paling sering juga digunakan namun menjadi pilihan terakhir adalah pelestarian (preservation). Kegiatan pelestarian merupakan kegiatan yang dilakukan untuk tetap mempertahankan kondisi lahan basah yang ada dalam menjalankan fungsinya (Odum dan Turner, 1987).

Banyak peneliti telah menawarkan kesimpulan tentang berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan kegiatan mitigasi saat ini dan masa depan. Umumnya dapat digambarkan dalam lima kategori. Ini termasuk (Castelle, et al., 1992):

• Informasi teknis dan ilmiah;
• Perencanaan proyek dan pelaksanaan;
• Tipe lahan basah;
• Fungsi lahan basah;
• Jenis mitigasi, dan
• Waktu.
Selengkapnya...


Share/Bookmark

MEMAHAMI BANJIR

Air merupakan sumber kehidupan yang dikaruniakan Tuhan kepada seluruh mahlukNya. Seperti komponen alam lainnya, air merupakan penyangga kehidupan. Berbagai berkah yang kita dapatkan dari dan melalui air. Air mengajarkan kita akan filosofi kehidupan sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab Tuhan.

Kedudukan dan fungsi air di muka bumi akan selalu berganti-ganti sehingga membentuk suatu siklus yang dikenal sebagai siklus hidrologi. Sebagai proses alam, siklus ini akan menjaga keseimbangan kehidupan di bumi hingga saat manusia melakukan intervensi terhadapnya dan menjadikannya tak stabil. Bertambahnya jumlah manusia menyebabkan intervensi terhadap siklus hidrologi menjadi semakin besar. Pada akhirnya siklus hidrologi menjadi terganggu sehingga memunculkan bahaya yang berujung menjadi bencana banjir (flood disaster).

Di luar dari terganggunya siklus hidrologi akibat intervensi manusia, banjir hanyalah proses alam yang telah terjadi sejak masa lampau. Banjir dapat diartikan sebagai aliran air yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai yang kemudian melimpah dan menimbulkan genangan melebihi jumlah normal yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dengan periode ulang tahun tertentu. Jadi pada tahun-tahun tertentu curah hujan yang tinggi dapat berulang dan terjadi pada wilayah-wilayah tertentu dan menimbulkan luapan air. Terjadinya banjir pada masa lampau memberikan bukti dengan adanya dataran banjir (flood plain) yang kini oleh manusia mempergunakannya untuk berbagai aktivitas. Dataran banjir merupakan daerah yang subur karena merupakan endapan material dengan unsur hara yang tinggi yang terangkut bersama limpasan air dari hulu. Selain itu proses alam ini berperan dalam proses evolusi dan suksesi mahluk hidup lainnya. Berdasarkan kejadiaanya secara alamiah, banjir hanyalah konotasi positif untuk memaknainya sebagai luapan air yang membawa berkah.

Dengan kondisi dan kenyataan yang kita hadapi sekarang, banjir merupakan ancaman bahaya bagi kehidupan manusia. Makna banjir sebagai proses alam bergeser ke arah negatif yaitu luapan air yang membawa musibah (bencana). Semua proses alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, longsor, dan lainnya pada hakekatnya adalah peristiwa alam yang menjaga kesimbangan bumi. Namun karena keberadaan manusia disekitarnya yang kemudian menimbulkan kerugian, baik harta benda maupun hilangnya nyawa, menjadikannya sebagai bencana. Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan proses alam yang dapat menjadi bencana tanpa adanya pengaruh akibat intervensi manusia, sedangkan banjir kejadiannya diperparah akibat intervensi manusia. Banjir merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia yang beriklim tropis, terutama pada wilayah dengan kemiringan lereng landai atau dataran. Masalah tersebut mulai muncul sejak manusia bermukim dan melakukan berbagai kegiatan di daerah dataran banjir serta ekspansi lahan yang terjadi di daerah hulu. Pemanfaatan lahan yang hanya berorientasi pada fungsi produksi dan melupakan fungsi lingkungan mengakibatkan tempat-tempat tersebut langganan terhadap banjir. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan tingkat kebutuhan hidup yang tinggi cenderung mengeksploitasi lahan secara serampangan dengan menyisakan degradasi lahan yang memprihatinkan. Pembalakan hutan secara liar (deforestasi) pada wilayah hulu, penimbunan rawa (daerah resapan air) untuk pemukiman dan industri, dan penataan ruang dengan sistem drainase yang buruk merupakan beberapa penyebab terjadinya bencana banjir di kota-kota besar Indonesia. Diperparah lagi dengan sikap dan ketidakepedulian (ignorance) masyarakat terhadap lingkungannya yaitu membuang sampah yang tidak pada tempatnya. Kebanyakan kota atau daerah yang dilalui oleh sebuah sungai merupakan tempat strategis bagi masyarakat untuk membuang sampah karena dianggap efisien (mungkin tak memerlukan biaya) atau dibuang pada saluran-saluran air. Sudah menjadi pemandangan umum di daerah perkotaan, sungai dan saluran-saluran air yang tercemar dan menimbulkan bau oleh sampah yang menumpuk. Hal ini menyebabkan berkurangnya kapasitas badan sungai atau saluran air untuk menampung air, khususnya saat terjadi hujan sehingga menyebabkan banjir.

Kebanyakan kejadian banjir melalui luapan air sungai yang terjadi di daerah perkotaan sering menyalahkan daerah hulu (yang biasanya terpisah secara administrasi) sebagai penyebab banjir atau dikenal dengan istilah “banjir kiriman”. Tentunya keliru dengan menggunakan istilah tersebut tanpa memandang konsep kewilayahan secara utuh yang tak hanya berdasarkan batas administrasi atau keterpisahan fungsi ruang. Kita telah mengenal dan akrab dengan prinsip “air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah” dan istilah “air mengalir sampai jauh” dalam keseharian kita. Melalui prinsip dan istilah ini tentunya kita sadar bahwa suatu wilayah berhubungan erat secara ekologis, apalagi masing-masing wilayah berada pada satu sistem daerah aliran sungai (DAS) sehingga upaya untuk melakukan penanggulangan bencana banjir dapat dilakukan secara bersama-sama.

Telah banyak upaya penanggulangan bencana banjir dilakukan namun belum menampakkan hasil yang maksimal. Kebanyakan upaya dilakukan hanya mengacu kepada proses yang bersifat fisik, seperti menghitung peluang meningkatnya debit banjir, pemetaan zona rawan banjir, membuat bangunan pengendali banjir, dan lain sebagainya. Hal yang sering dilupakan adalah meningkatkan upaya penyelesaian terhadap faktor pemicu terjadinya banjir yang berhubungan dengan aktivitas manusia seperti deforestasi yang tiada henti-hentinya, pembukaan lahan di daerah resapan air, membuang sampah tidak pada tempatnya, dan sebagainya. Maka dari itu, sudah saatnya kita melakukan penanggulangan bencana banjir yang tak setengah hati dengan melihat semua hubungan-hubungan antara alam dan manusia. Selain itu upaya peningkatan kesadaran pribadi kita masing-masing dan masyarakat luas terhadap kelestarian lingkungan perlu dilakukan yang dapat dimulai dengan hal-hal yang kecil yaitu dengan memulai membuang sampah pada tempatnya.

“Alam mampu memenuhi semua kebutuhan manusia tapi tidak untuk kerakusannya” (M. Ghandi)
Selengkapnya...


Share/Bookmark