Pengertian
Pengertian kekeringan antara ahli satu dengan ahli lainnya belum ada kesamaan namun ada beberapa pengertian kekeringan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan kekeringan antara lain :
Menurut Shelia B. Red (1995) kekeringan didefinisikan sebagai pengurangan persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus. Dampak kekeringan muncul sebagai akibat dari kekurangannya air, atau perbedaan-perbedaan antara permintaan dan persediaan air. Apabila kekeringan sudah mengganggu dampak tata kehidupan, dan perekonomian masyarakat maka kekeringan dapat dikatakan Bencana.
Menurut Palmer (1965) kekeringan meteorologis suatu interval waktu yang mana suplai air hujan aktual suatu lokasi jatuh/turun lebih pendek dibanding suplai air klimatologis sesungguhnya (estimasi normal).
Menurut Changnom (1987) kekeringan pertanian suatu periode ketika air tanah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga pertumbuhannya tetap, bahkan tanaman mati.
Jenis-Jenis Kekeringan
Menurut Shelia B. Red (1995) kekeringan bisa dikelompokan berdasarkan jenisnya yaitu : kekeringan meteorologis, kekeringan hydrologis, kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial ekonomi.
Kekeringan Pada Tanaman
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kekeringan pada tanaman meliputi (Winarko, 2004):
Akibat Bencana Kekeringan
Menurut Shelia B. Red (1995) bahwa Akibat bencana kekeringan diantaranya adalah dalam sektor ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Ekonomi :
Lingkungan :
Sosial:
Selengkapnya...
BENCANA KEKERINGAN
PENGEMBANGAN GEO INDIKATOR UNTUK PENGELOLAAN RISIKO BENCANA, LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG
Diposting oleh Arwan di 03.24Banyaknya bahaya di Indonesia menuntut kecepatan upaya menekan risiko yang mungkin terjadi. Upaya menekan risiko bencana tersebut sudah diamanatkan oleh UU No 26, 2006 tentang Penataan Ruang, supaya memasukkan komponen kebencanaan dalam penataan ruang. Selain itu dalam UU No 32, 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan juga ditekankan tentang perlunya akomodasi daya dukung lingkungan dalam penataan ruang dan pembuatan sistem informasi bahaya lingkungan yang wajib dipublikasikan. Semua amanah ini merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk menjalankannya (UU No 32, 2004 tentang Pemerintah Daerah), sehingga saat ini banyak pemerintah daerah sedang merevisi rencana tata ruang wilayahnya.
Faktor yang terkait dengan kebencanaan untuk dimasukkan ke dalam dokumen tata ruang sudah ada dalam dokumen perundangan, tetapi masih bersifat umum, dan pedoman operasional belum ada. Dalam peraturan perundangan kita objek yang sama dengan istilah lain sudah ada, tetapi belum jelas cara mengimplementasikannya, untuk itu diperlukan sarana tertentu misalnya indikator tertentu. Pemanfaatan indikator tertentu sering dimanfaatkan untuk melakukan penilaian terhadap status atau suatu fenomena dengan ukuran-ukuran kuantitatif ataupun kualitatif.
Geo Indikator kebencanaan adalah suatu objek atau fenomena yang terjadi di permukaan bumi baik yang bersifat tiba-tiba atau gradual, tetapi terjadi dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, yang dapat diamati dan diukur untuk melihat perubahan bentang alam. Geo Indikator kebencanaan sudah banyak dipakai untuk keperluan pengelolaan bencana dan lingkungan khususnya di Taman Nasional di USA, Kanada, Brazil dan beberapa negara lain, khususnya untuk keperluan perencanaan jangka panjang.
Kegiatan pengembangan Geo Indikator kebencanaan ini saat ini sedang dilakukan oleh Kementerian Riset dan Teknologi, melalui serangkaian proses akademik mulai dari investigitasi indikator yang sudah ada baik dipakai di dunia maupun secara operasional di Indonesia pada kegiatan rutin maupun dalam perundangan. Hasil dari investigasi yang dilakukan oleh sekelompok ahli baik dari hasil penelitian maupun data sekunder ini sudah berhasil disusun khususnya untuk geo indikator pada bahaya tertentu yang dapat diprediksi dan dimitigasi seperti longsor, abrasi, erosi, banjir, kekeringan, kebakaran dan pencemaran. Aspek geo indikator lain seperti tsunami, gempa, vulkanik dianggap lebih tidak mudah diprediksi tetapi secara bertahap geo indikator untuk aspek tersebut dan lainnya juga akan dikembangkan. Sejauh ini geo indikator yang sudah disusun akan dijelaskan dalam kaitan untuk keperluan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Secara umum untuk aspek perencanaan sangat ditekankan aspek geo indikator yang dapat dipetakan, sedangkan untuk aspek pemanfaatan dan pengendalian akan ditekankan pada kemudahan pengukuran dan pengamatan di lapangan.
Sumber : Panitia Workshop "PENGEMBANGAN GEO INDIKATOR UNTUK PENGELOLAAN RISIKO BENCANA, LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG DI INDONESIA", Kegiatan telah dilaksanakan pada 30 November 2010 di IICC Bogor atas kerjasama Menristek dan P4W IPB
Di bawah ini tersedia link untuk mengunduh/download materi-materi yang telah disajikan pada kegiatan workshop:
Geoindikator_Overview
Geoindikator_Erosi
Geoindikator_Pencemaran Tanah
Geoindikator_Banjir
Geoindikator_Abrasi
Geoindikator_Kebakaran Lahan
Geoindikator_Kekeringan
Geoindikator_Longsor
Selengkapnya...
Label: Studi Bencana, Tanah-Lingkungan
PENGEMBANGAN GEO INDIKATOR UNTUK PENGELOLAAN RISIKO BENCANA, LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG
No Soil No Life...
Slogan ini merupakan mantra ilmiah yang memberitahukan dan menyadarkan kita tentang pentingnya tanah bagi kehidupan di bumi. Keberadaan tanah (soil) sebagai komponen alam memiliki banyak pengertian sesuai perspektif pemanfaatannya dalam berbagai bidang kehidupan. Seperti komponen alam lainnya, tanah berasal dan terbentuk sebagai akibat keteraturan sistem alam yang mempengaruhi kehidupan mahluk hidup, manusia, tumbuhan, dan hewan.
Para ilmuwan, khususnya yang bergelut di bidang ilmu kebumian memahami bahwa tanah merupakan benda alami yang berasal dari alam, terbentuk dari proses alam dan berkembang berdasarkan kondisi alam yang dipengaruhi faktor-faktor alam tertentu yang saling berinteraksi. Secara umum dan mendasar tanah berasal dari proses pelapukan batuan dan bahan alami lainnya (yang membentuk tanah mineral dan tanah organik) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor alam tertentu dalam skala waktu kehidupan di bumi. Berdasarkan dari sumber asalnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukannya, tulisan ini mencoba menelusuri keberadaan tanah berhubungan dengan keberadaan bumi di alam semesta. Mungkin agak ribet karena pendekatan ilmu lain selain ilmu tanah sangat di perlukan untuk melihat hubungan ini. Mari kita telusuri.
Tanah berasal dari batuan
Bumi sebagai suatu planet di alam semesta menurut para ilmuwan sekitar 4,5 milyar tahun yang lalu terbentuk oleh tabrakan tak lebih dari beberapa potong batuan angkasa yang sedang mengelilingi matahari. Secara sederhana kita dapat melihat hubungan antara keberadaan tanah yang berasal dari pelapukan batuan dimana juga bumi sebagai tempat keberadaannya (tanah) berasal dari batuan. Mungkin disebut berpikir pendek, jika memang tanah berasal dari pelapukan batuan sebagaimana pembentukan bumi dari batuan artinya tanah tidak hanya dapat ditemukan di bumi tetapi juga di planet lain yang juga terbentuk oleh batuan (agak membingungkan yah....). Tetapi kita menyadari bahwa bahwa batuan tidak melapuk atau menjadi tanah begitu saja tetapi di pengaruhi oleh berbagai faktor yang mungkin saja dapat terpenuhi di planet lain selain bumi. Adakah bumi lain (planet lain) di luar sana yang dapat memenuhi syarat pembentukan tanah? Ini permasalahan yang lebih khusus tentunya. Walaupun syarat tersebut terpenuhi masih akan menjadi pertanyaan, dapatkah manusia dan mahluk hidup lainnya menggunakan tanahnya dalam artian menghuni planet tersebut?
Keberadaan Bumi di alam semesta
Melihat keberadaan Bumi sebagai suatu planet kehidupan yang begitu unik dan kompleks di alam semesta menimbulkan berbagai pertanyaan dikalangan para ilmuwan. Seperti halnya yang dikemukakan pak Awang seorang pakar geologi Indonesia melalui tulisannya tentang “Teori Bumi Langka” atau Rare Earth yang juga merupakan isi dari film “BBC-Earth Power of The Planet, Episode Rare Earth” bahwa planet seperti bumi kita sebagai tempat hidup yang rumit mungkin saja sangat jarang. Sebagian besar Alam Semesta itu, termasuk sebagian besar galaksi Bima Sakti kita tidak dapat mendukung bentuk kehidupan yang kompleks (dead zones). Bagian galaksi yang bisa memunculkan kehidupan kompleks adalah galactic habitable zone. Zona kehidupan ini merupakan fungsi utama terhadap jarak dari pusat galaksi. Maka semakin jauh planet dari pusat galaksi akan semakin kecil kena hantaman benda langit berukuran besar. Sebuah impact yang cukup besar dapat memusnahkan kehidupan kompleks di planet. Tetapi akan kita lihat bahwa impact pun dibutuhkan sebagai pemicu evolusi kehidupan.
Kehidupan kompleks memerlukan air dalam keadaan cair seperti di lautan dan danau. Karenanya, planet harus berada pada jarak yang tepat dari bintangnya. Planet tidak boleh terlalu dekat atau terlalu jauh terhadap bintangnya. Jarak habitable zone ini pun berevolusi bergantung kepada tipe dan umur bintangnya. Syarat ini dipenuhi bumi dan matahari sebagai bintangnya.
Planet yang mendukung kehidupan kompleks pun harus mempunyai planet tetangganya yang lebih besar dan cukup jauh agar tak mengganggu gravitasinya, tetapi cukup dekat sebagai tameng untuk menarik benda langit yang akan menimbulkan impact terhadap planet pendukung kehidupan kompleks. Contoh ideal dalam hal ini adalah planet Yupiter tetangga jauh Bumi setelah Mars. Yupiter cukup jauh agar tak mengganggu gravitasi Bumi, tetapi ia masih relatif dekat untuk membuat benda langit (bolides) yang akan menabrak Bumi berbelok tertarik gravitasi Yupiter.
Planet pun tak boleh berukuran terlalu kecil sehingga gravitasinya tak dapat menahan atmosfer. Sebab bila tak ada atmosfer, temperatur akan sangat menurun dan tak akan ada lautan. Planet yang kecil pun cenderung punya variasi topografi yang ekstrem. Inti planet akan mendingin dengan segera, sehingga gerak fluida mantel dan tektonik lempeng tak akan bertahan lama atau bahkan tak bisa terjadi. Membandingkan Mars yang lebih kecil daripada Bumi dan berdasarkan tinggalan-tinggalan di permukaannya diyakini pernah ada air mengalir di Mars. Namun sekarang telah lenyap akibat gravitasinya tak bisa menahan atmosfernya dan intinya pun telah selesai bergerak, sehingga tak ada lagi gerak fluida di mantel dan tektonik lempeng di litosfer.
Planet dengan satelit yang besar (seperti Bumi dan Bulan) adalah juga suatu anomali di dalam rocky planets. Bandingkan bahwa Merkurius dan Venus yang sama-sama rocky planets seperti Bumi tak punya satelit, sementara Mars, rocky planet lain tetangga sebelah Bumi, punya satelit, tetapi jauh lebih kecil ukurannya dibandingkan Mars (satelit Phobos, mungkin ia hanya asteroid yang tertangkap gravitasi Mars). Bulan ini telah ikut menjaga stabilitas kemiringan Bumi agar tetap bersudut sekitar 23 ½ deg. Bumi tak boleh terlalu miring atau terlalu tegak sebab ini akan mengacaukan extreme seasonal variation yang tak akan menyebabkan stimulus evolusi sebab chaotic. Bulan pun menyebabkan efek pasang air laut di Bumi secara berkala yang sangat penting untuk evolusi spesies penghuni lautan berpindah ke daratan. Tanpa Bulan, pasang karena Matahari akan sangat lemah sehingga akan memperlambat sekali laju evolusi.
Bulan punya efek pasang atas kerak Bumi. Ini akan membantu gerakan tektonik lempeng. Bulan pun yang berasal dari Bumi menurut teori impact Theia telah memicu gerak tektonik lempeng dengan cara membuat inhomogenitas litosfer. Suatu dinamika mantel yang akan menggerakkan lempeng membutuhkan inhomogeitas litosfer. Bulan yang terlempar dari Bumi dalam peristiwa impact telah membuat seluruh litosfer di atas muka Bumi tidak disusun oleh kerak kontinen.
Planet pun untuk mendukung kehidupan yang kompleks harus mempunyai gerak tektonik lempeng. Sebab evolusi kehidupan banyak dipengaruhi oleh sebaran lautan dan benua di atas planet dan sebaran samudera serta benua seluruhnya diatur oleh tektonik lempeng. Untuk itu, suatu planet harus mempunyai komposisi kimia yang mengizinkan gerak tektonik lempeng, yaitu ia harus mempunyai energi peluruhan radioaktif di intinya yang akan menghasilkan panas yang akan menggerakkan mantel. Kerak benua planet pun harus granitik agar ia sebagai lempeng dapat terapung di atas batuan oseanik yang basaltik dengan densitas dan gravitasi yang lebih besar/berat. Subduksi dan pemekaran dasar samudera yaitu dua pendorong gerak lempeng melalui ridge puh di MOR (mid-oceanic ridge) dan slab pull di zona subduksi hanya akan terjadi oleh gerak pelumasan air, dan di planet yang punya air dalam bentuk cairan di samudera gerak tektonik lempeng terjadi dengan mudah, itulah Bumi.
Begitulah yang terjadi di Bumi, sehingga kehidupan kompleks dalam bentuk puncaknya yaitu manusia berteknologi bisa muncul - dibutuhkan sekian syarat astronomi dan geologi yang tak mudah dipenuhi di tempat lain. Itulah Rare Earth.
Majalah National Geographic edisi Desember 2009 memuat artikel berjudul “Mencari Bumi di Langit” (oleh Timothy Ferris, astronom) yang melaporkan bahwa sampai saat ini telah ditemukan planet sebanyak 370 buah di luar Tata Surya kita. Sebagian dari planet-planet itu berukuran hampir seperti Bumi tulisnya. Sekitar 20 tahun cahaya dari Bumi kita ada empat planet yang mengelilingi bintang bernama Gliese yang lebih redup daripada Matahari. Diyakini bahwa planet Gliese 581 e berbatu dan massanya dua kali Bumi, sementara planet Gliese 581 d mungkin dapat menyimpan air dalam bentuk cair.
Akankah ada kehidupan kompleks dan cerdas di sana, di planet Gliese 581 d? Kalau hanya mikroba atau protoplasma atau bahkan asam amino, itu tidak menarik sebab Bumi mengembangkan manusia cerdas, bukan hanya mikroba. Planet-planet tentu saja akan banyak di Alam Semesta ini dari milyaran galaksi yang ada. Tetapi planet yang dapat mendukung kehidupan kompleks seperti di Bumi, sama sekali bukan sesuatu yang mudah. Ada fungsi anomali astronomi, ada fungsi anomali geologi, dan yang beriman mengatakan ada Khalik yang menciptakan makhluk-makhluk itu.
Apakah tanah hanya ada di bumi?
Berdasarkan cerita dari pak Awang tentang planet bumi yang sulit ditemukan samanya digalaksi manapun, terutama keberadaan mahluk hidup cerdas bernama manusia, ditambahkan oleh film “BBC-Earth Power of The Planet, Episode Rare Earth” bahwa kehidupan sederhana seperti bakteri tipe serupa lumpur dapat ditemukan di kolam vulkanis panas mungkin saja umum ada di alam semesta tapi bagi kehidupan rumit untuk berkembang seperti tanaman dan binatang membutuhkan rangkaian kejadian yang luar biasa. Bagaimana dengan keberadaan tanah? (Kok belum bisa nyambung yah? Harus survey langsung ke luar angkasa kayaknya. Hehehe...)
Nantikan keberlanjutan tulisan ini. Seperti halnya pembentukan tanah yang dipengaruhi waktu, tulisan ini pun berlaku demikian. Sama seperti pembaca yang masih bingung, saya pun juga demikian. Namun tak menyurutkan keinginan kita untuk selalu mencari jawaban atas keraguan yang ada, karena pengetahuan berawal dari keraguan. Ayo belajar...Viva Soil...Soil Solid
Lanjutan ke bagian 2...
Sumber : Cerita Pak Awang (Geologist Indonesia) tentang “Kehidupan Alam Semesta” dan Film “BBC-Earth Power of The Planet, Episode Rare Earth”.
Selengkapnya...
TANAH HANYA ADA DI BUMI? (Bagian 1)
Keberadaan (eksistensi) ilmu tanah bukanlah merupakan suatu hal yang baru dalam ranah ilmu pengetahuan. Ilmu tanah dipelajari oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu keteknikan (rekayasa), agronomi/pertanian, kimia, geologi, geografi, ekologi, biologi (termasuk cabang-cabangnya), ilmu sanitasi, arkeologi, dan perencanaan wilayah. Akibat banyaknya pendekatan untuk mengkaji tanah, ilmu tanah bersifat multidisiplin dan memiliki sisi ilmu murni maupun ilmu terapan.
Melihat banyaknya cakupan dan pendekatan dalam mengkaji ilmu tanah, tentunya masih menjadi pertanyaan bagaimana ilmu tanah itu menjadi begitu penting dan kapankah manusia mulai mengkaji atau memahami tentang adanya ilmu tanah? Ternyata ilmu tanah dipelopori oleh orang-orang yang menekuni bidang bidang kimia, fisiologi tumbuhan, bakteriologi dan geologi beserta bidang ikutannya petrografi dan mineralogi. Berikut ceritanya yang saya kutip dari tulisan Prof. Tejoyuwono.
Manusia sebagai mahluk cerdas di bumi menggunakan akalnya tentunya dengan indera yang dimiliki untuk memperoleh suatu pengetahuan atau ilmu dalam rangka mempertahankan hidupnya. Saat itu (zaman dahulu kala) manusia telah mengenal beberapa bidang pengetahuan penting sesuai kondisi jangkauan pemahaman manusia tentang alam yang digunakan untuk kehidupan. Manusia telah mengenal pengetahuan tentang kedokteran, botani dan astronomi yang merupakan pengetahuan tertua atau yang pertama dimiliki manusia. Pengetahuan kedokteran muncul sebagai akibat keingin-tahuan untuk melawan gangguan atau penyakit tubuhnya. Botani berkembang dan dipelajari karena minatnya yang mendalam tentang tumbuhan sebagai bahan obat atau pangan. Gejala ruang angkasa yang sukar dipahami, perubahan tetap siang dan malam, peredaran matahari dari timur ke barat, pemunculan bintang menurut musim, dan sebagainya membangkitkan rasa gaib dalam diri manusia. Dengan diawali penyembahan Dewa Matahari oleh bangsa Mesir Kuno, secara bertahap pengetahuan manusia bertambah yang akhimya melahirkan astronomi. Dari sesuatu yang dipandang gaib, dipuja dan disembah, lambat laun berganti menjadi sesuatu yang sangat memikat untuk disingkap rahasianya, untuk dijamah. Manusia mulai menjelajahi ruang angkasa.
Bagaimana mengenai tanah? Tanah berada di bawah telapak kaki manusia. Setiap saat dia menginjaknya, akan tetapi dia justru mendongak ke langit untuk memperoleh pertolongan dan keselamatan dari para Dewa. Selama manusia masih bertempat tinggal di dalam gua-gua atau di bawah tajuk lebat pepohonan, selama dia puas dengan mencari makan secara berburu binatang dan memungut hasil tumbuhan, dan selama dia sudah merasa senang meliliti tubuhnya dengan dedaunan, kulit kayu, atau kulit binatang untuk melindungi badannya dari kedinginan, kehujanan, tusukan duri, dan gigitan serangga, selama itu pula tanah bukan sesuatu yang perlu diperhatikan.
Kelahiran pengetahuan tentang tanah masih harus menunggu waktu lama sampai manusia menjinakkan (domesticate) hewan menjadi ternak dan tumbuhan menjadi tanaman. Mulailah manusia merasa perlu memperhatikan tanah. Keperhatian (concern) manusia yang menempati kawasan beriklim kering tertuju kepada pencarian padang rumput yang subur untuk menggembalakan ternak, dan yang menempati kawasan beriklim basah keperhatiannya tertuju kepada pemilihan tanah hutan yang baik untuk dibuka dan bercocok tanam. Manusia masih bergantung pada alam untuk memulihkan kesuburan perumputan atau kesuburan tanah hutan. Oleh karena pemulihan ini memerlukan waktu lama, manusia hidup sebagai peternak nomad atau petani peladang (swidden cultivators). Penduduk kawasan tropika basah di Afrika, Asia dan Amerika Selatan memahirkan diri dalam berladang.
Proses pengumpulan dan penghimpunan pengalaman mulai berjalan dan makin melaju setelah manusia hidup menetap. Diperlukan pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak dan andal untuk dapat memilih padang rumput atau tanah yang dapat digunakan secara tetap. Lembah-lembah sungai menjadi pilihan pertama untuk mendirikan permukiman dan mengusahakan pertanian secara menetap. Tanah lembah sungai disuburkan kembali secara berkala oleh lumpur banjir. Meskipun pemeliharaan kesuburan tanah masih digantungkan pada alam, akan tetapi oleh karena prosesnya berjalan hanya berselang musim dan tidak berjangka waktu tahunan seperti pada kawasan perladangan, manusia dapat menerapkan sistem pertanian menetap di lembah-lembah sungai. Bermukim sepanjang sungai juga mempertimbangkan kemudahan perhubungan dan perdagangan. Mereka yang kurang beruntung dengan alamnya, penyuburan tanah harus mereka usahakan sendiri.
Orang-orang Mesir Kuno memanfaatkan kedermawanan Bengawan Nil dengan menetap di sepanjang lembahnya. Orang-orang Babilonia yang mengusahakan lembah Sungai Eufrat dan Tigris yang beriklim kering mengembangkan teknik irigasi yang hebat. Akan tetapi teknologi irigasi waktu itu belum terdukung oleh pengetahuan tanah yang memadai. Maka akhimya tanah-tanah beririgasi di lembah Sungai Eufrat dan Tigris menjadi rusak karena salinisasi. Larutan garam di dalam air sungai mengendap dalam tanah karena evaporasi kuat di kawasan beriklim kering. Orang-orang Romawi, Yunani dan Cina mengembangkan kemahiran memupuk tanah dengan abu, sisa tanaman atau kotoran ternak. Orang Cina pada 4000 tahun yang lalu telah menerapkan semacam klasifikasi produktivitas tanah, a.l. untukdasar penetapan pajak bumi (Bennett, 1939; Joffe, 1949; Russell, 1963).
Pengetahuan akan ada kalau ada kebutuhan segera. Macam pengetahuan yang timbul, atau arah perkembangan suatu pengetahuan tertentu, tergantung pada lingkungan atau keadaan tempat yang menimbulkan kebutuhan akan pengetahuan itu. Pengumpulan pengetahuan berdasarkan pengalaman setempat dapat dikerjakan oleh orang awam. Akan tetapi menghimpun pengetahuan yang terpisah-pisah sehingga menjadi suatu sistem pengertian, atau menumbuhkan ilmu pengetahuan, hanya dapat dilaksanakan oleh para pakar atau ahli yang berminat. Oleh karena para cendekiawan sudah jauh lebih dulu menekuni ilmu-ilmu kealaman yang lain maka kemunculan ilmu tanah masih harus menunggu lama lagi sampai ada diversifikasi minat di kalangan para ahli pikir itu.
Saat tersebut akhirnya tiba juga pada menjelang akhir abad ke-18. Tanah mendapatkan perhatian dari para cerdik pandai yang biasa berkecimpung dalam bidang kimia, fisiologi tumbuhan, bakteriologi dan geologi beserta bidang ikutannya petrografi dan mineralogi. Terbawa dari latar belakang disiplin ilmu masing-masing, mereka memperlakukan tanah sebagai suatu bahan. Orang geologi menganggap tanah sebagai bahan sisa pelapukan batuan. Mereka mengkaji tanah untuk menyidik kembali batuan asal mulanya menurut mineral dan sibir (fragment) batuan yang tersisa dalam bahan tanah. Orang ilmu kimia dan fisiologi tumbuhan memusatkan perhatian mereka pada unsur penyusunan tanah dan mengaitkannya dengan keharaan tanaman. Orang bakteriologi mementingkan unsur atau senyawa penyusun tanah yang dihasilkan oleh kegiatan biologi, khususnya oleh kegiatan jasad renik.
Berkat kemajuannya yang pesat dan berhasil, ilmu kimia untuk sementara waktu merajai pandangan ilmiah. Ilmu ini memiliki sarana penelitian ampuh berupa pemikiran dan kegiatan analitik. Sumbangan Boussingault di Perancis dan Liebig di Jerman kepada ilmu kimia pertanian dapat dicatat sebagai tonggak sejarah penting bagi perkembangan ilmu tanah. Terutama "teori mineral" dan "hukum minimum" Liebig yang diumumkannya pada tahun 1840 telah menghidupkan ilmu kesuburan tanah, suatu cabang ilmu tanah yang bertumbuh pesat dan menjadi cikal-bakal revolusi hijau yang terjadi pada abad ke-20. Dengan teori dan hukum tersebut Liebig sekaligus menumbangkan "teori humus" Thaer yang diajukan 30 tahun sebelumnya. Dapat dicatat bahwa ilmu kesuburan tanah modern menggabungkan teori humus dan teori mineral menjadi satu kesatuan dan menjabarkan ulang hukum minimum menjadi hukum neraca hara.
Di bawah asuhan ilmu kimia, pengkajian tanah maju dengan pesat. Ilmu tanah berhutang budi kepada kimia atas sumbangannya berupa metode dan tatacara penelitian serta hukum dasar kimia yang diterapkan pada tanah selaku medium produksi pertanaman. Akan tetapi di balik keberuntungan ini terdapat kerugian yang tidak kecil. Pengaruh ilmu kimia yang begitu kuat telah menghambat perkembangan pengkajian tanah menjadi disiplin ilmu yang hakiki dan mandiri. Pengkajian tanah menjadi bawahan ilmu kimia. Dengan konsep kimiawi tanah hanya dapat dipandang sebagai bahan dan tidak dapat dilihat tanah sebagai suatu tubuh alam yang khas. Geologi juga memberikan saham pada kekeliruan konsep ini. Pada waktu menekuni tanah sebagai limbah batuan, seorang pakar geologi tidak mempedulikan hubungan tanah dengan lingkungannya. Tanah dianggapnya hanya berkaitan langsung dengan batuan yang telah dan sedang mengalami pelapukan, dan tidak ada faktor lain di luar batuan dan pelapukan yang ikut serta menghadirkan tanah.
Fisika juga memberikan sumbangan yang sangat berarti kepada kemajuan pengkajian tanah. Berbagai sifat fisik dan mekanik tanah yang penting dapat di diungkapkan dengan teori dan hukum fisika. Akan tetapi sebagaimana ilmu kimia, fisika juga memandang tanah semata-mata sebagai bahan dan bukan sebagai tubuh.
Kita tahu sekarang bahwa pengkajian dan penyelesaian persoalan tanah tidak semudah dugaan orang sampai akhir abad ke-l9. Membawa cuplikan (sample) tanah ke laboratorium untuk dianalisis sifat-sifat kimia, fisik, mineralogi dan/atau biologinya belum dapat memecahkan persoalan. Demikian pula halnya membawa tanah ke rumah kaca untuk percobaan pot.
Tonggak sejarah penting berikutnya bagi perkembangan pengkajian tanah datang pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Tonggak yang satu dipancangkan di Rusia oleh Dokuchaev dan murid-muridnya pada tahun 1883, dan tonggak yang lain dipancangkan di Amerika Serikat oleh Hilgard pada tahun 1877. Dokuchaev berlatarbelakang pendidikan geologi dan mineralogi, sedang Hilgard di samping berpendidikan geologi juga kemudian menguasai zoologi, botani dan agronomi (Joffe, 1949). Oleh kepeloporan kedua sarjana ini pandangan tentang hakekat tanah berubah dari bahan menjadi tubuh. Konsep tanah sebagai tubuh alam merupakan pembaharuan total atas pandangan sebelumnya. Tanah bukan sekadar bahan kimiawi atau benda fisik yang ditemukan di lapangan, bukan semata-mata substrat yang menghidupkan dan menghidupi tumbuhan, bukan hanya dunia jasad renik yang kaya raya, dan bukan pula sekadar limbah batuan. Tanah adalah suatu kenyataan alam yang mandiri.
Tanah mempunyai asal-usul, diwujudkan di bawah kuasa faktor lingkungan tertentu melalui berbagai proses khas dan rumit, serta terdistribusikan di muka daratan dengan pola yang dapat ditakrifkan (distributed with definable patterns). Tanah merupakan suatu sistem terbuka menurut peredaran bahan dan energi. Kemaujudannya bertumpu pada daya tanggap tubuh tanah terhadap kakas (forces) yang bertanggung jawab atas pembentukan tanah. Kesudahan tanggapan ini terekam pada morfologi tubuh tanah (profil tanah) yang terbentuk oleh berbagai proses alihrupa dan alihtempat intemal (internal transformations and translocations).
Pada waktu dikuasai ilmu kimia, pengkajian tanah berkonsep statika. Buah penelitiannya adalah cuplikan tanah dari lapisan perakaran tanaman dan ruang kerjanya adalah laboratorium. Dengan konsep baru, ilmu tanah berurusan dengan dinamika tanah, berarti waktu menjadi faktor penting secara mutlak dalam menghadirkan sifat tanah. Tanah mernpakan perujudan suatu keseimbangan dinamik. Pada tahana tunak keseimbangan dinamik (steady state of dynamic equilibrium), anasir-anasir tanah berada dalam keselarasan timbal balik (mutually adjustment) dan tubuh tanah mencapai taraf matang. Kematangan ini bersifat nisbi. Apabila kelakuan faktor-faktor berubah maka proses penyelarasan timbal-balik antar anasir tanah berulang kembali menuju ke pencapaian keseimbangan dinamik baru. Dengan konsep baru ini buah telaah adalah keseluruhan tubuh tanah dan ruang kerjanya adalah lapangan tempat tubuh tanah itu berada. Cuplikan tanah dan laboratorium menjadi pelengkap penelitian untuk meningkatkan daya sidik dan daya ramal. Semua hasil penetapan laboratorium atas cuplikan tanah dikorelasikan satu dengan yang lain, baik secara vertikal untuk memperoleh rujukan tubuh maupun secara lateral untuk memperoleh rujukan bentangan. Dengan demikian tiap data tanah berada dalam suatu sistem informasi yang bermatra ruang. Dengan menginferensikan ciri-ciri tubuh tanah pada sejarah bentanglahan (landscape) tempat tubuh tanah berada, data tanah memperoleh pula matra waktu.
Setelah berhasil melahirkan konsep khusus tentang hakekat tanah dan berhasil menguraikan hukum yang mengatur faktor pembentuk tanah, barulah pengetahuan tanah menjadi suatu disiplin ilmu yang benar-benar mandiri. Ilmu kealaman yang lain, seperti ilmu kimia, fisika, biologi dan geologi, bukan lagi "bapak angkat" ilmu tanah melainkan alat. Bahkan kini matematika dan statistika sudah menjadi alat penting sekali dan lazim digunakan oleh ilmu tanah, khususnya dalam pengacuan (modelling) reaksi yang berlangsung dalam tanah dan interpolasi batas bentangan jenis tanah di medan (geostatistics).
Ilmu tanah masih muda sekali, boleh dikatakan umurnya kini baru sekitar satu abad. Akan tetapi dengan memiliki konsep baru maka sejak awal abad ke-20 ilmu tanah mengalami kemajuan pesat sekali. Dengan kelincahan dan kemahiran luar biasa, ilmu tanah memanfaatkan setiap kemajuan dalam ilmu kealaman yang lain dan dalam teknik analisis untuk memperkaya pandangan dan mencanggihkan metode penelitiannya. Bahkan kenyataan sosial dan ekonomi secara begitu cerdik dapat diramukan ke dalam ilmu tanah, misalnya yang dikerjakan oleh Profesor Edelman almarhum dalam bukunya "Sociale en Economische Bodemkunde" (1949). Joffe (1949) mengatakan bahwa ilmu tanah berdiri di antara ilmu tentang benda hidup dan tak hidup.
Ilmu tanah memperoleh matra lebih luas setelah klasifikasi dan pemetaan tanah berkembang pesat. Berkat fakta dan bukti yang terkumpul banyak selama penjelajahan medan secara intensif di kawasan dunia yang luas, konsep tanah sebagai sistem alam kemudian memperoleh konteks baru sebagai sumberdaya alam. Dengan ini ilmu tanah tidak saja berada di antara alam biotik dan abiotik, akan tetapi merangkaikan kedua alam tadi, dan bahkan memperoleh gatra sosial dan ekonomi sangat nyata. Dengan klasifikasi dan pemetaan tanah segala informasi tentang tanah memperoleh makna "tempat" dan penyalurannya menjadi lebih efektif karena dapat mengikuti asas ekstrapolasi atau adaptasi.
Sumber : Tulisan Prof. Tejoyuwono: "TRIDARMA ILMU TANAH : CITA-CITA DAN KENYATAAN"
Selengkapnya...
Label: Tanah-Lingkungan
Sejarah Perkembangan Ilmu Tanah
Indonesia merupakan Negara yang terletak di khatulistiwa atau ekuator dengan dua musim setahun yaitu musim kemarau dan musim hujan. Menurut Lakitan (1991), berdasarkan klasifikasi iklim global, wilayah kepulauan Indonesia sebagian besar tergolong zona iklim tropika basah dan sisanya masuk zona iklim pegunungan atau trokina mansoon. Iklim tropika basah ditandai dengan besarnya curah hujan dalam setahun (antara 1000 mm - 2000 mm).
Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang relatif subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia (Bakornas PB, 2006).
Banjir merupakan kata yang populer di Indonesia, khususnya pada musim hujan, mengingat hampir semua kota di Indonesia mengalami bencana banjir. Dari beberapa fakta dan data yang ada, Indonesia telah mengalami banyak bencana banjir yang menyebabkan kerugian jiwa dan materi yang besar. Data bencana dari BAKORNAS PB menyebutkan bahwa antara tahun 2003-2005 telah terjadi 1.429 kejadian bencana, di mana bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang paling sering terjadi yaitu 53,3 persen dari total kejadian bencana di Indonesia. Dari total bencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah banjir (34,1 persen dari total kejadian bencana di Indonesia) diikuti oleh tanah longsor (16 persen) dan pada tahun 2008 bencana banjir meningkat menjadi 38 persen. Banjir disertai tanah longsor melanda Sulawesi Selatan pada bulan Juni 2006 dengan korban lebih dari 200 orang meninggal dan puluhan orang dinyatakan hilang (data BAKORNAS PB, 23 Juni 2006). Kejadian banjir di Jawa timur pada tanggal 20 April 2007 mengakibatkan 7482 unit rumah, 37 unit tempat ibadah, 18 unit sekolah serta 4893,20 hektar persawahan terendam air (BPPT, 2007). Bencana banjir bandang juga terjadi baru ini di Wasior Papua Barat pada tanggal 4 Oktober 2010 dengan korban jiwa mencapai 164 orang dengan 121 lainnya dinyatakan hilang dan diperkirakan akan terus bertambah (TempoInteraktif.com 25/10, 2010) serta kerugian berdasarkan hasil perhitungan sementara Bappenas mencapai Rp. 277,9 milyar (Kompas.com 25/10, 2010).
Mengingat kejadian banjir mengakibatkan kerugian yang besar maka perlu diketahui bagaimana dan apa penyebab fenomena alam tersebut dapat terjadi serta ancaman kerusakan yang dapat ditimbulkan sehingga kita dapat lebih dini mengantisipasi pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh banjir.
Definisi Banjir
Secara umum banjir adalah peristiwa dimana daratan yang biasanya kering (bukan daerah rawa) menjadi tergenang oleh air, hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi topografi wilayah berupa dataran rendah hingga cekung. Kodoatie dan Sugiyanto (2002) menyebutkan bahwa banjir terdiri atas dua peristiwa, pertama banjir terjadi di daerah yang tidak biasa terkena banjir, dan kedua banjir terjadi karena limpasan air dari sungai karena debitnya yang besar sehingga tidak mampu dialirkan oleh alur sungai.
Menurut Reed (1995), banjir adalah tertutupnya permukaan daratan teluk-teluk kecil yang biasanya kering atau ketika air menggenangi pembatas air yang normal. Apabila suatu peristiwa terendamnya air di suatu wilayah yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis maka banjir tersebut dapat disebut Bencana Banjir.
Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak, 2004). Aliran/genangan air ini dapat terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi debit aliran yang lewat (Sudjarwadi, 1987). Hal tersebut terjadi karena pada musim penghujan air hujan yang jatuh pada daerah tangkapan air (catchments area) tidak banyak yang dapat meresap ke dalam tanah melainkan lebih banyak melimpas sebagai debit air sungai. Jika debit sungai ini terlalu besar dan melebihi kapasitas tampung sungai, maka akan meyebabkan banjir.
Tipe Banjir
Menurut Reed (1995) bahwa banjir dapat di kelompok menjadi 3 yaitu banjir bandang, banjir sungai, dan banjir pantai.
Faktor Penyebab Banjir
Banjir dapat disebabkan oleh curah hujan yang tinggi diatas normal, proses laut dan atmosfer seperti El Nino Osilasi Selatan (baca: ENSO) atau arus udara yang berkecepatan tinggi, gelombang-gelombang badai dari badai tropis, jebolnya bendungan, salju yang meleleh dengan cepat atau pipa-pipa air pecah (Reed, 1995).
Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002), banjir dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah:
Secara umum penyebab terjadinya banjir di berbagai belahan dunia adalah (Smith et, al., 1998 dalam Asy’ari dan Nirmala, 2008):
Dibyosaputro (1984) mengatakan penyebab banjir dan lamanya genangan bukan hanya disebabkan oleh meluapnya air sungai, melainkan oleh kelebihan curah hujan dan fluktuasi muka air laut khususnya dataran aluvial pantai, unit-unit geomorfologi seperti daerah rawa, rawa belakang, dataran banjir, pertemuan sungai dengan dataran aluvial merupakan tempat-tempat yang rentan banjir.
Menurut Bakornas PB (2007) banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di atas normal, sehingga sistim pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem saluran drainase dan kanal penampung banjir buatan yang ada tidak mampu menampung akumulasi air hujan tersebut sehingga meluap. Curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan debit air sungai menjadi lebih besar dari kapasitas tampungnya sehingga terjadi limpasan dan genangan pada daerah dataran banjir (Nurhikmat, 1994). Kemampuan/daya tampung sistem pengaliran air dimaksud tidak selamanya sama, tetapi berubah akibat sedimentasi, penyempitan sungai akibat fenomena alam dan ulah manusia, tersumbat sampah serta hambatan lainnya. Penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan (catchment area) juga menyebabkan peningkatan debit banjir karena debit/pasokan air yang masuk ke dalam sistem aliran menjadi tinggi sehingga melampaui kapasitas pengaliran dan menjadi pemicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan terjadinya sedimentasi di sistem pengaliran air dan wadah air lainnya. Menurut Arsyad (2006), peranan tanaman penutup tanah menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan dan mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan, sehingga mengurangi erosi dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah. Disamping itu berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi atas meningkatnya debit banjir. Pada daerah permukiman dimana telah padat dengan bangunan sehingga tingkat resapan air kedalam tanah berkurang, jika terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi sebagian besar air akan menjadi aliran air permukaan yang langsung masuk kedalam sistem pengaliran air sehingga kapasitasnya terlampaui dan mengakibatkan banjir (BAKORNAS PB, 2007).
Ancaman Bahaya Banjir
Pada umumnya banjir yang berupa genangan maupun banjir bandang bersifat merusak. Aliran arus air yang cepat dan bergolak (turbulent) meskipun tidak terlalu dalam dapat menghanyutkan manusia, hewan dan harta benda. Aliran air yang membawa material tanah yang halus akan mampu menyeret material yang lebih berat sehingga daya rusaknya akan semakin tinggi. Air banjir yang pekat ini akan mampu merusakan pondasi bangunan, pondasi jembatan dan lainnya yang dilewati sehingga menyebabkan kerusakan yang parah pada bangunan-bangunan tersebut, bahkan mampu merobohkan bangunan dan menghanyutkannya. Pada saat air banjir telah surut, material yang terbawa banjir akan diendapkan dan dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman, perumahan serta timbulnya wabah penyakit (BAKORNAS PB, 2007).
Banjir bandang (flash flood) biasanya terjadi pada aliran sungai yang kemiringan dasar sungainya curam. Aliran banjir yang tinggi dan sangat cepat, dapat mencapai ketinggian lebih dari 12 meter (banjir Bahorok, 2003) limpasannya dapat membawa batu besar/bongkahan dan pepohonan serta merusak/menghanyutkan apa saja yang dilewati namun cepat surut kembali. Banjir semacam ini dapat menyebabkan jatuhnya korban manusia (karena tidak sempat mengungsi) maupun kerugian harta benda yang besar dalam waktu yang singkat (BAKORNAS PB, 2007).
Kerugian akibat banjir pada umumnya relatif dan sulit diidentifikasi secara jelas, dimana terdiri dari kerugian banjir akibat banjir langsung, dan tak langsung:
Bencana banjir mengakibatkan kerugian berupa korban manusia dan harta benda, baik milik perorangan maupun milik umum yang dapat mengganggu dan bahkan melumpuhkan kegiatan sosial-ekonomi penduduk. Uraian rinci tentang korban manusia dan kerusakan pada harta benda dan prasarana umum diuraikan sebagai berikut (BAKORNAS PB, 2007):
1). Manusia
2). Prasarana Umum
3). Harta Benda Perorangan
Label: Banjir, Studi Bencana, Tanah-Lingkungan
BANJIR DAN ANCAMANNYA
1. Volcano
2. Atmosphere
3. Ice
4. Oceans
5. Rare Earth
Setelah menonton film tersebut, saya mencoba membuat kesimpulan sederhana untuk 2 episode (volcano dan atmosphere).
Episode - Volcano
- Gunung berapi yang biasanya dilihat sebagai destruktif, ternyata juga sebagai konstruktif. Keberadaan gunung berapi yang sewaktu-waktu dapat mengancam kehidupan manusia melalui semburan lava panas yang dapat melelehkan apa saja yang dilaluinya, ternyata dahulu semenjak terbentuknya bumi merupakan bagian komponen alam yang turut berperan dalam menjaga bumi sampai sekarang. Lava panas yang dimuntahkan gunung berapi mengindikasikan adanya sumber panas dari dalam inti bumi. Sumber panas inilah yang menggerakkan lempeng bumi dan membentuk bentang lahan yang kompleks (dataran/pegunungan) serta memproduksi gunung berapi. Suhu dingin ekstrim yang dahulu memerangkap bumi pada akhirnya menghangat akibat awan panas tebal yang mengandung karbondioksida (CO2) yang sangat tinggi (cikal bakal lapisan pelindung bumi atau disebut atmosfer) berasal dari letusan gunung berapi. Sehingga dari proses ini menciptakan suatu kehidupan yang dapat bertahan dan berevolusi. Tanpa itu Bumi akan menjadi planet mati jutaan tahun yang lalu.
- Gunung berapi menghasilkan keseimbangan sebagai siklus kehidupan di bumi. Apa yang telah dihasilkan gunung berapi diantaranya awan panas (yang menghasilkan karbondioksida) merupakan sesuatu yang juga dibutuhkan oleh komponen alam lainnya di bumi ini pada awal kehidupan proses penyempurnaan bumi sampai sekarang. Karbondioksida yang dilepaskan ke atmosfer ternyata digunakan oleh kehidupan mikroorganisme untuk memproduksi oksigen kemudian memerangkapnya menjadi sebuah endapan yang kemudian nantinya dikeluarkan kembali oleh gunung berapi. Aktivitas ini berulang terus-menerus (membentuk siklus) sehingga menciptakan suhu bumi yang tepat bagi kehidupan.
- Selain itu lempeng tektonik yang terus menerus bergerak berpotensi untuk meninggikan daratan secara perlahan dan tak beraturan, namun proses alam lainnya tak membiarkan hal ini terjadi. Air yang merupakan salah satu komponen kehidupan (tenaga eksogen) melalui peristiwa erosi (pengikisan material daratan) sebagai penyeimbang proses alam tersebut. Pengikisan batuan atau tanah oleh air secara perlahan juga akan membuat suatu peristiwa lain ketika pembentukan topografi tidak terjadi yang disebabkan oleh pergerakan lempeng (tenaga endogen). Ternyata bumi dalam keseimbangan.
Episode - Atmosphere
- Atmosfer adalah pelindung bumi dan sumber segala cuaca yang tanpanya tanah akan kering, kutub jauh lebih dingin, dan daerah tropis panas terbakar. Melindungi kita dari radiasi yang mematikan. Dan juga sumber energi kita (oksigen) dan tanpa itu kehidupan di Bumi tidak akan pernah bertahan dan berevolusi.
- Atmosfer yang kita kenali, selain melindungi juga mengancam dan melahirkan bencana bagi kehidupan di bumi. Namun hal tersebut merupakan proses keseimbangan kehidupan.
- Atmosfer sebagai sumber udara (gas) yang dibutuhkan oleh kehidupan. Atmosfer menciptakan suhu yang tepat dan mengaturnya, menjaga suasana bumi penuh oksigen dan menghentikan samudera menghilang ke ruang angkasa, sehingga bumi bisa dihuni. Yang terpenting adalah bagaimana manusia mengontrol cuaca dan iklim di dunia. Sehingga gas-gas yang terdapat di atmosfer tidak berlebihan dan tidak berkurang atau melampaui ambang batasnya.
Label: Film, Lain-Lain, Tanah-Lingkungan
EARTH - The Power of The Planet
Undang-Undang Permen PU No. 49 / PRT Tahun 1990 Tata cara dan persyaratan ijin penggunaan air dan atau sumber air Permen PU No. 48 / PRT Tahun 1990 Pengelolaan atas air dan atau sumber air pada wilayah sungai Permen PU No. 45 / PRT Tahun 1990 Pengendalian mutu air pada sumber – sumber air
UU No.5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
UU No.5 Tahun 1967 Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
UU No.11 Tahun 1967 Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
UU No.11 Tahun 1974 Pengairan
UU No.20 Tahun 1982 Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI
UU No.5 Tahun 1984 Perindustrian
UU No.9 Tahun 1985 Perikanan
UU No.5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
UU No.4 Tahun 1992 Perumahan dan Permukiman
UU No.6 Tahun 1996 Perairan Indonesia
UU No.23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No.41 Tahun 1999 Kehutanan
UU No.3 Tahun 2002 Pertanahan negara
UU No.7 Tahun 2004 Sumber Daya Air
UU No.25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
UU No.38 Tahun 2004 Jalan
UU No.26 Tahun 2007 Penataan Ruang
UU No.24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana
UU No.18 Tahun 2008 Pengelolaan Sampah
Peraturan
Permen PU No. 39 / PRT Tahun 1989 Pembagian wilayah sungai
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyiapan Sarana Dan Prasarana dalam Penanggulangan Bencana
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 17 TAHUN PEDOMAN PENENTUAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP DALAM PENATAAN RUANG WILAYAH
Selengkapnya...
Label: Lain-Lain
Undang-Undang, Peraturan, Pedoman
Di malam yang penuh keanggunan
riuh gemuruh puji memuja diriNya
kemenangan bukan buatku
Demi saudara2ku yg melebihi perjuanganku
aku tak pantas mendapatkannya
tak cukup waktu bagiku dalam suatu bulan yg dikaruniaiNya yang dapat menyamai perjalanan kalian
aku tak pantas mendapatkannya.
Aku belum bisa memenangkannya
aku tak pantas mendapatkannya
seperti ditahun2 sebelumnya
kemampuanku sangatlah lemah
menjalankan sesuatu karena kewjiban yang mungkin juga hanya untuk pengakuan sosial.
Kalian saudara2ku tlh melampaui waktu yang baru saja ku lalui
tak peduli kalian dengan penamaan momennya
di negeri sendiri, di rantau, diasingkan, tak ada ketepatan pada tempatnya apalagi waktunya
aku tak pantas mendapatknnya.
Aku yg sadar seolah-olah menjalankannya dengan kemantapan
tapi rasa curiga, negatif thinking, narsis, iri, dengki, dan berbagai hal yg belum bisa ku ikhlaskan tak prnah dpt kukalahkan bukan untuk di bulan ini saja
aku lemah, aku tak pantas mendapatkannya.
Bahkan mungkin lapisan2 tanah pun tak mampu menampung kekhilafanku
dosa2 yg tergambarkan dengan titik, garis, dan area yg sudah tak mampu ku kalkulasi luasannya
tak pantas ku gabung ku tumpan tindihkan dengan kebaikan srta amalan kalian dalam berbagai skala kehidupan
aku tak pantas mendapatkannya.
Demi kalian saudara2ku yg memperoleh kemenangan
aku tak pantas mendaptkannya
aku malu padaNya.
Maafkan aku..
Ampuni aku yaa Rabb..
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H
Minal aidin wal faidzin..
Selengkapnya...
Kemenangan Bukan Buatku
Fenomena-fenomena alam yang terjadi baik secara alamiah maupun akibat adanya campur tangan manusia dapat menjadi suatu ancaman bagi kehidupan di bumi ini.Ancaman bahaya kerusakan alam merupakan masalah serius yang akan kita hadapi jika tidak ada pencegahan dan perencanaan penanggulangannya secara dini. Untuk itu perlu diketahui secara jelas ancaman bahaya kerusakan alam yang sedang dan akan terjadi. Dalam pengertiannya, ancaman merupakan suatu kondisi yang mengindikasikan akan terjadinya suatu kejadian yang bersifat negatif (tidak menguntungkan) bagi suatu obyek. Bahaya adalah suatu potensi akan terjadinya proses alam, antropogenik atau keduanya (kaitannya) dalam waktu dekat. Sedangkan kerusakan alam adalah suatu kondisi dimana fungsi setiap komponen sistem alam tidak optimal atau alam tidak berada pada suatu keseimbangan (ekologis). Berdasarkan pengertian tersebut, kita akan mengetahui jenis ancaman bahaya yang ada.
Jenis Ancaman Bahaya
Ancaman bahaya kerusakan alam dapat ditimbulkan oleh 2 proses, yaitu:
- Proses Alam
- Proses Antropogenik
Proses Alam
Proses ini merupakan proses yang terjadi secara alamiah, namun didalamnya terdapat beberapa fenomena yang dapat dipengaruhi oleh proses antropogenik (penjelasan lebih lanjut). Proses alam atau disebut proses geomorfik (geomorphic proceses) adalah semua proses perubahan baik fisik maupun kimiawi yang mempengaruhi perubahan bentuk bumi. Proses ini dibagi menjadi proses endogen dan proses eksogen.
a. Endogen
Proses endogen adalah proses perubahan bentang alam yang disebabkan oleh kekuatan (tenaga) dari dalam kulit bumi. Proses ini melahirkan proses diastrofisme yang merupakan proses perubahan atau modifikasi struktur kerak bumi oleh proses-proses endogenik. Diastrofisme dapat dibedakan menjadi tektonisme (tektonik) dan magmatisme (vulkanik).
Kedua istilah ini (tektonik dan vulkanik) merupakan proses alam yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan manusia, namun fenomena tersebut juga memiliki dampak positif bagi keseimbangan alam. Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh tektonik antara lain gempa dan tsunami. Sedangkan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh vulkanik antara lain letusan gunung api dan aliran lahar.
b. Eksogen
Proses eksogen adalah proses perubahan bentang alam yang disebabkan oleh kekuatan (tenaga) dari luar bumi (atmosfer, air, dan organisme). Proses ini juga melahirkan suatu proses yang disebut gradasi. Gradasi adalah semua proses yang cenderung menyebabkan penurunan penurunan permukaan litosfer ke ketinggian rata-rata (common level). Gradasi terbagi menjadi dua; degradasi yaitu menurunnya permukaan dan aggradasi yaitu menaiknya permukaan.
Proses eksogen dapat menimbukan ancaman bahaya baik berupa proses gradasi maupun aktivitas organisme. Ancaman bahaya yang dapat terjadi antara lain:
- Pengaruh atmosferik berupa angin (badai) dan kekeringan,
- Pengaruh marin berupa abrasi dan pasang-surut (gelombang),
- Pengaruh denudasional berupa erosi dan longsor, dan
- Pengaruh fluvial berupa banjir.
Proses Antropogenik
Proses ini merupakan ancaman bahaya yang terjadi akibat aktivitas manusia yang melampaui batas toleransi. Bencana antropogenik terkandang tidak kalah dahsyatnya dengan bencana alam, apakah bencana antropogenik akan terjadi atau tidak sangat ditentukan oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik dan religi dari masyarakatnya (Effendi, 2005).
Bencana alam akibat proses antropogenik dapat berupa:
Dari kedua proses (alam dan antropogenik) tersebut, kita harus selalu belajar dan memahami ancaman bahaya kerusakan alam yang ada, sehingga kewaspadaan akan keselamatan kehidupan tetap terjaga dan lingkungan tetap lestari.
Label: Studi Bencana, Tanah-Lingkungan
ANCAMAN BAHAYA KERUSAKAN ALAM