Banyaknya bahaya di Indonesia menuntut kecepatan upaya menekan risiko yang mungkin terjadi. Upaya menekan risiko bencana tersebut sudah diamanatkan oleh UU No 26, 2006 tentang Penataan Ruang, supaya memasukkan komponen kebencanaan dalam penataan ruang. Selain itu dalam UU No 32, 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan juga ditekankan tentang perlunya akomodasi daya dukung lingkungan dalam penataan ruang dan pembuatan sistem informasi bahaya lingkungan yang wajib dipublikasikan. Semua amanah ini merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk menjalankannya (UU No 32, 2004 tentang Pemerintah Daerah), sehingga saat ini banyak pemerintah daerah sedang merevisi rencana tata ruang wilayahnya.
Faktor yang terkait dengan kebencanaan untuk dimasukkan ke dalam dokumen tata ruang sudah ada dalam dokumen perundangan, tetapi masih bersifat umum, dan pedoman operasional belum ada. Dalam peraturan perundangan kita objek yang sama dengan istilah lain sudah ada, tetapi belum jelas cara mengimplementasikannya, untuk itu diperlukan sarana tertentu misalnya indikator tertentu. Pemanfaatan indikator tertentu sering dimanfaatkan untuk melakukan penilaian terhadap status atau suatu fenomena dengan ukuran-ukuran kuantitatif ataupun kualitatif.
Geo Indikator kebencanaan adalah suatu objek atau fenomena yang terjadi di permukaan bumi baik yang bersifat tiba-tiba atau gradual, tetapi terjadi dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, yang dapat diamati dan diukur untuk melihat perubahan bentang alam. Geo Indikator kebencanaan sudah banyak dipakai untuk keperluan pengelolaan bencana dan lingkungan khususnya di Taman Nasional di USA, Kanada, Brazil dan beberapa negara lain, khususnya untuk keperluan perencanaan jangka panjang.
Kegiatan pengembangan Geo Indikator kebencanaan ini saat ini sedang dilakukan oleh Kementerian Riset dan Teknologi, melalui serangkaian proses akademik mulai dari investigitasi indikator yang sudah ada baik dipakai di dunia maupun secara operasional di Indonesia pada kegiatan rutin maupun dalam perundangan. Hasil dari investigasi yang dilakukan oleh sekelompok ahli baik dari hasil penelitian maupun data sekunder ini sudah berhasil disusun khususnya untuk geo indikator pada bahaya tertentu yang dapat diprediksi dan dimitigasi seperti longsor, abrasi, erosi, banjir, kekeringan, kebakaran dan pencemaran. Aspek geo indikator lain seperti tsunami, gempa, vulkanik dianggap lebih tidak mudah diprediksi tetapi secara bertahap geo indikator untuk aspek tersebut dan lainnya juga akan dikembangkan. Sejauh ini geo indikator yang sudah disusun akan dijelaskan dalam kaitan untuk keperluan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Secara umum untuk aspek perencanaan sangat ditekankan aspek geo indikator yang dapat dipetakan, sedangkan untuk aspek pemanfaatan dan pengendalian akan ditekankan pada kemudahan pengukuran dan pengamatan di lapangan.
Sumber : Panitia Workshop "PENGEMBANGAN GEO INDIKATOR UNTUK PENGELOLAAN RISIKO BENCANA, LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG DI INDONESIA", Kegiatan telah dilaksanakan pada 30 November 2010 di IICC Bogor atas kerjasama Menristek dan P4W IPB
Di bawah ini tersedia link untuk mengunduh/download materi-materi yang telah disajikan pada kegiatan workshop:
Geoindikator_Overview
Geoindikator_Erosi
Geoindikator_Pencemaran Tanah
Geoindikator_Banjir
Geoindikator_Abrasi
Geoindikator_Kebakaran Lahan
Geoindikator_Kekeringan
Geoindikator_Longsor
Selengkapnya...
PENGEMBANGAN GEO INDIKATOR UNTUK PENGELOLAAN RISIKO BENCANA, LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG
Diposting oleh Arwan di 03.24Label: Studi Bencana, Tanah-Lingkungan
PENGEMBANGAN GEO INDIKATOR UNTUK PENGELOLAAN RISIKO BENCANA, LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG
No Soil No Life...
Slogan ini merupakan mantra ilmiah yang memberitahukan dan menyadarkan kita tentang pentingnya tanah bagi kehidupan di bumi. Keberadaan tanah (soil) sebagai komponen alam memiliki banyak pengertian sesuai perspektif pemanfaatannya dalam berbagai bidang kehidupan. Seperti komponen alam lainnya, tanah berasal dan terbentuk sebagai akibat keteraturan sistem alam yang mempengaruhi kehidupan mahluk hidup, manusia, tumbuhan, dan hewan.
Para ilmuwan, khususnya yang bergelut di bidang ilmu kebumian memahami bahwa tanah merupakan benda alami yang berasal dari alam, terbentuk dari proses alam dan berkembang berdasarkan kondisi alam yang dipengaruhi faktor-faktor alam tertentu yang saling berinteraksi. Secara umum dan mendasar tanah berasal dari proses pelapukan batuan dan bahan alami lainnya (yang membentuk tanah mineral dan tanah organik) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor alam tertentu dalam skala waktu kehidupan di bumi. Berdasarkan dari sumber asalnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukannya, tulisan ini mencoba menelusuri keberadaan tanah berhubungan dengan keberadaan bumi di alam semesta. Mungkin agak ribet karena pendekatan ilmu lain selain ilmu tanah sangat di perlukan untuk melihat hubungan ini. Mari kita telusuri.
Tanah berasal dari batuan
Bumi sebagai suatu planet di alam semesta menurut para ilmuwan sekitar 4,5 milyar tahun yang lalu terbentuk oleh tabrakan tak lebih dari beberapa potong batuan angkasa yang sedang mengelilingi matahari. Secara sederhana kita dapat melihat hubungan antara keberadaan tanah yang berasal dari pelapukan batuan dimana juga bumi sebagai tempat keberadaannya (tanah) berasal dari batuan. Mungkin disebut berpikir pendek, jika memang tanah berasal dari pelapukan batuan sebagaimana pembentukan bumi dari batuan artinya tanah tidak hanya dapat ditemukan di bumi tetapi juga di planet lain yang juga terbentuk oleh batuan (agak membingungkan yah....). Tetapi kita menyadari bahwa bahwa batuan tidak melapuk atau menjadi tanah begitu saja tetapi di pengaruhi oleh berbagai faktor yang mungkin saja dapat terpenuhi di planet lain selain bumi. Adakah bumi lain (planet lain) di luar sana yang dapat memenuhi syarat pembentukan tanah? Ini permasalahan yang lebih khusus tentunya. Walaupun syarat tersebut terpenuhi masih akan menjadi pertanyaan, dapatkah manusia dan mahluk hidup lainnya menggunakan tanahnya dalam artian menghuni planet tersebut?
Keberadaan Bumi di alam semesta
Melihat keberadaan Bumi sebagai suatu planet kehidupan yang begitu unik dan kompleks di alam semesta menimbulkan berbagai pertanyaan dikalangan para ilmuwan. Seperti halnya yang dikemukakan pak Awang seorang pakar geologi Indonesia melalui tulisannya tentang “Teori Bumi Langka” atau Rare Earth yang juga merupakan isi dari film “BBC-Earth Power of The Planet, Episode Rare Earth” bahwa planet seperti bumi kita sebagai tempat hidup yang rumit mungkin saja sangat jarang. Sebagian besar Alam Semesta itu, termasuk sebagian besar galaksi Bima Sakti kita tidak dapat mendukung bentuk kehidupan yang kompleks (dead zones). Bagian galaksi yang bisa memunculkan kehidupan kompleks adalah galactic habitable zone. Zona kehidupan ini merupakan fungsi utama terhadap jarak dari pusat galaksi. Maka semakin jauh planet dari pusat galaksi akan semakin kecil kena hantaman benda langit berukuran besar. Sebuah impact yang cukup besar dapat memusnahkan kehidupan kompleks di planet. Tetapi akan kita lihat bahwa impact pun dibutuhkan sebagai pemicu evolusi kehidupan.
Kehidupan kompleks memerlukan air dalam keadaan cair seperti di lautan dan danau. Karenanya, planet harus berada pada jarak yang tepat dari bintangnya. Planet tidak boleh terlalu dekat atau terlalu jauh terhadap bintangnya. Jarak habitable zone ini pun berevolusi bergantung kepada tipe dan umur bintangnya. Syarat ini dipenuhi bumi dan matahari sebagai bintangnya.
Planet yang mendukung kehidupan kompleks pun harus mempunyai planet tetangganya yang lebih besar dan cukup jauh agar tak mengganggu gravitasinya, tetapi cukup dekat sebagai tameng untuk menarik benda langit yang akan menimbulkan impact terhadap planet pendukung kehidupan kompleks. Contoh ideal dalam hal ini adalah planet Yupiter tetangga jauh Bumi setelah Mars. Yupiter cukup jauh agar tak mengganggu gravitasi Bumi, tetapi ia masih relatif dekat untuk membuat benda langit (bolides) yang akan menabrak Bumi berbelok tertarik gravitasi Yupiter.
Planet pun tak boleh berukuran terlalu kecil sehingga gravitasinya tak dapat menahan atmosfer. Sebab bila tak ada atmosfer, temperatur akan sangat menurun dan tak akan ada lautan. Planet yang kecil pun cenderung punya variasi topografi yang ekstrem. Inti planet akan mendingin dengan segera, sehingga gerak fluida mantel dan tektonik lempeng tak akan bertahan lama atau bahkan tak bisa terjadi. Membandingkan Mars yang lebih kecil daripada Bumi dan berdasarkan tinggalan-tinggalan di permukaannya diyakini pernah ada air mengalir di Mars. Namun sekarang telah lenyap akibat gravitasinya tak bisa menahan atmosfernya dan intinya pun telah selesai bergerak, sehingga tak ada lagi gerak fluida di mantel dan tektonik lempeng di litosfer.
Planet dengan satelit yang besar (seperti Bumi dan Bulan) adalah juga suatu anomali di dalam rocky planets. Bandingkan bahwa Merkurius dan Venus yang sama-sama rocky planets seperti Bumi tak punya satelit, sementara Mars, rocky planet lain tetangga sebelah Bumi, punya satelit, tetapi jauh lebih kecil ukurannya dibandingkan Mars (satelit Phobos, mungkin ia hanya asteroid yang tertangkap gravitasi Mars). Bulan ini telah ikut menjaga stabilitas kemiringan Bumi agar tetap bersudut sekitar 23 ½ deg. Bumi tak boleh terlalu miring atau terlalu tegak sebab ini akan mengacaukan extreme seasonal variation yang tak akan menyebabkan stimulus evolusi sebab chaotic. Bulan pun menyebabkan efek pasang air laut di Bumi secara berkala yang sangat penting untuk evolusi spesies penghuni lautan berpindah ke daratan. Tanpa Bulan, pasang karena Matahari akan sangat lemah sehingga akan memperlambat sekali laju evolusi.
Bulan punya efek pasang atas kerak Bumi. Ini akan membantu gerakan tektonik lempeng. Bulan pun yang berasal dari Bumi menurut teori impact Theia telah memicu gerak tektonik lempeng dengan cara membuat inhomogenitas litosfer. Suatu dinamika mantel yang akan menggerakkan lempeng membutuhkan inhomogeitas litosfer. Bulan yang terlempar dari Bumi dalam peristiwa impact telah membuat seluruh litosfer di atas muka Bumi tidak disusun oleh kerak kontinen.
Planet pun untuk mendukung kehidupan yang kompleks harus mempunyai gerak tektonik lempeng. Sebab evolusi kehidupan banyak dipengaruhi oleh sebaran lautan dan benua di atas planet dan sebaran samudera serta benua seluruhnya diatur oleh tektonik lempeng. Untuk itu, suatu planet harus mempunyai komposisi kimia yang mengizinkan gerak tektonik lempeng, yaitu ia harus mempunyai energi peluruhan radioaktif di intinya yang akan menghasilkan panas yang akan menggerakkan mantel. Kerak benua planet pun harus granitik agar ia sebagai lempeng dapat terapung di atas batuan oseanik yang basaltik dengan densitas dan gravitasi yang lebih besar/berat. Subduksi dan pemekaran dasar samudera yaitu dua pendorong gerak lempeng melalui ridge puh di MOR (mid-oceanic ridge) dan slab pull di zona subduksi hanya akan terjadi oleh gerak pelumasan air, dan di planet yang punya air dalam bentuk cairan di samudera gerak tektonik lempeng terjadi dengan mudah, itulah Bumi.
Begitulah yang terjadi di Bumi, sehingga kehidupan kompleks dalam bentuk puncaknya yaitu manusia berteknologi bisa muncul - dibutuhkan sekian syarat astronomi dan geologi yang tak mudah dipenuhi di tempat lain. Itulah Rare Earth.
Majalah National Geographic edisi Desember 2009 memuat artikel berjudul “Mencari Bumi di Langit” (oleh Timothy Ferris, astronom) yang melaporkan bahwa sampai saat ini telah ditemukan planet sebanyak 370 buah di luar Tata Surya kita. Sebagian dari planet-planet itu berukuran hampir seperti Bumi tulisnya. Sekitar 20 tahun cahaya dari Bumi kita ada empat planet yang mengelilingi bintang bernama Gliese yang lebih redup daripada Matahari. Diyakini bahwa planet Gliese 581 e berbatu dan massanya dua kali Bumi, sementara planet Gliese 581 d mungkin dapat menyimpan air dalam bentuk cair.
Akankah ada kehidupan kompleks dan cerdas di sana, di planet Gliese 581 d? Kalau hanya mikroba atau protoplasma atau bahkan asam amino, itu tidak menarik sebab Bumi mengembangkan manusia cerdas, bukan hanya mikroba. Planet-planet tentu saja akan banyak di Alam Semesta ini dari milyaran galaksi yang ada. Tetapi planet yang dapat mendukung kehidupan kompleks seperti di Bumi, sama sekali bukan sesuatu yang mudah. Ada fungsi anomali astronomi, ada fungsi anomali geologi, dan yang beriman mengatakan ada Khalik yang menciptakan makhluk-makhluk itu.
Apakah tanah hanya ada di bumi?
Berdasarkan cerita dari pak Awang tentang planet bumi yang sulit ditemukan samanya digalaksi manapun, terutama keberadaan mahluk hidup cerdas bernama manusia, ditambahkan oleh film “BBC-Earth Power of The Planet, Episode Rare Earth” bahwa kehidupan sederhana seperti bakteri tipe serupa lumpur dapat ditemukan di kolam vulkanis panas mungkin saja umum ada di alam semesta tapi bagi kehidupan rumit untuk berkembang seperti tanaman dan binatang membutuhkan rangkaian kejadian yang luar biasa. Bagaimana dengan keberadaan tanah? (Kok belum bisa nyambung yah? Harus survey langsung ke luar angkasa kayaknya. Hehehe...)
Nantikan keberlanjutan tulisan ini. Seperti halnya pembentukan tanah yang dipengaruhi waktu, tulisan ini pun berlaku demikian. Sama seperti pembaca yang masih bingung, saya pun juga demikian. Namun tak menyurutkan keinginan kita untuk selalu mencari jawaban atas keraguan yang ada, karena pengetahuan berawal dari keraguan. Ayo belajar...Viva Soil...Soil Solid
Lanjutan ke bagian 2...
Sumber : Cerita Pak Awang (Geologist Indonesia) tentang “Kehidupan Alam Semesta” dan Film “BBC-Earth Power of The Planet, Episode Rare Earth”.
Selengkapnya...
TANAH HANYA ADA DI BUMI? (Bagian 1)
Keberadaan (eksistensi) ilmu tanah bukanlah merupakan suatu hal yang baru dalam ranah ilmu pengetahuan. Ilmu tanah dipelajari oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu keteknikan (rekayasa), agronomi/pertanian, kimia, geologi, geografi, ekologi, biologi (termasuk cabang-cabangnya), ilmu sanitasi, arkeologi, dan perencanaan wilayah. Akibat banyaknya pendekatan untuk mengkaji tanah, ilmu tanah bersifat multidisiplin dan memiliki sisi ilmu murni maupun ilmu terapan.
Melihat banyaknya cakupan dan pendekatan dalam mengkaji ilmu tanah, tentunya masih menjadi pertanyaan bagaimana ilmu tanah itu menjadi begitu penting dan kapankah manusia mulai mengkaji atau memahami tentang adanya ilmu tanah? Ternyata ilmu tanah dipelopori oleh orang-orang yang menekuni bidang bidang kimia, fisiologi tumbuhan, bakteriologi dan geologi beserta bidang ikutannya petrografi dan mineralogi. Berikut ceritanya yang saya kutip dari tulisan Prof. Tejoyuwono.
Manusia sebagai mahluk cerdas di bumi menggunakan akalnya tentunya dengan indera yang dimiliki untuk memperoleh suatu pengetahuan atau ilmu dalam rangka mempertahankan hidupnya. Saat itu (zaman dahulu kala) manusia telah mengenal beberapa bidang pengetahuan penting sesuai kondisi jangkauan pemahaman manusia tentang alam yang digunakan untuk kehidupan. Manusia telah mengenal pengetahuan tentang kedokteran, botani dan astronomi yang merupakan pengetahuan tertua atau yang pertama dimiliki manusia. Pengetahuan kedokteran muncul sebagai akibat keingin-tahuan untuk melawan gangguan atau penyakit tubuhnya. Botani berkembang dan dipelajari karena minatnya yang mendalam tentang tumbuhan sebagai bahan obat atau pangan. Gejala ruang angkasa yang sukar dipahami, perubahan tetap siang dan malam, peredaran matahari dari timur ke barat, pemunculan bintang menurut musim, dan sebagainya membangkitkan rasa gaib dalam diri manusia. Dengan diawali penyembahan Dewa Matahari oleh bangsa Mesir Kuno, secara bertahap pengetahuan manusia bertambah yang akhimya melahirkan astronomi. Dari sesuatu yang dipandang gaib, dipuja dan disembah, lambat laun berganti menjadi sesuatu yang sangat memikat untuk disingkap rahasianya, untuk dijamah. Manusia mulai menjelajahi ruang angkasa.
Bagaimana mengenai tanah? Tanah berada di bawah telapak kaki manusia. Setiap saat dia menginjaknya, akan tetapi dia justru mendongak ke langit untuk memperoleh pertolongan dan keselamatan dari para Dewa. Selama manusia masih bertempat tinggal di dalam gua-gua atau di bawah tajuk lebat pepohonan, selama dia puas dengan mencari makan secara berburu binatang dan memungut hasil tumbuhan, dan selama dia sudah merasa senang meliliti tubuhnya dengan dedaunan, kulit kayu, atau kulit binatang untuk melindungi badannya dari kedinginan, kehujanan, tusukan duri, dan gigitan serangga, selama itu pula tanah bukan sesuatu yang perlu diperhatikan.
Kelahiran pengetahuan tentang tanah masih harus menunggu waktu lama sampai manusia menjinakkan (domesticate) hewan menjadi ternak dan tumbuhan menjadi tanaman. Mulailah manusia merasa perlu memperhatikan tanah. Keperhatian (concern) manusia yang menempati kawasan beriklim kering tertuju kepada pencarian padang rumput yang subur untuk menggembalakan ternak, dan yang menempati kawasan beriklim basah keperhatiannya tertuju kepada pemilihan tanah hutan yang baik untuk dibuka dan bercocok tanam. Manusia masih bergantung pada alam untuk memulihkan kesuburan perumputan atau kesuburan tanah hutan. Oleh karena pemulihan ini memerlukan waktu lama, manusia hidup sebagai peternak nomad atau petani peladang (swidden cultivators). Penduduk kawasan tropika basah di Afrika, Asia dan Amerika Selatan memahirkan diri dalam berladang.
Proses pengumpulan dan penghimpunan pengalaman mulai berjalan dan makin melaju setelah manusia hidup menetap. Diperlukan pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak dan andal untuk dapat memilih padang rumput atau tanah yang dapat digunakan secara tetap. Lembah-lembah sungai menjadi pilihan pertama untuk mendirikan permukiman dan mengusahakan pertanian secara menetap. Tanah lembah sungai disuburkan kembali secara berkala oleh lumpur banjir. Meskipun pemeliharaan kesuburan tanah masih digantungkan pada alam, akan tetapi oleh karena prosesnya berjalan hanya berselang musim dan tidak berjangka waktu tahunan seperti pada kawasan perladangan, manusia dapat menerapkan sistem pertanian menetap di lembah-lembah sungai. Bermukim sepanjang sungai juga mempertimbangkan kemudahan perhubungan dan perdagangan. Mereka yang kurang beruntung dengan alamnya, penyuburan tanah harus mereka usahakan sendiri.
Orang-orang Mesir Kuno memanfaatkan kedermawanan Bengawan Nil dengan menetap di sepanjang lembahnya. Orang-orang Babilonia yang mengusahakan lembah Sungai Eufrat dan Tigris yang beriklim kering mengembangkan teknik irigasi yang hebat. Akan tetapi teknologi irigasi waktu itu belum terdukung oleh pengetahuan tanah yang memadai. Maka akhimya tanah-tanah beririgasi di lembah Sungai Eufrat dan Tigris menjadi rusak karena salinisasi. Larutan garam di dalam air sungai mengendap dalam tanah karena evaporasi kuat di kawasan beriklim kering. Orang-orang Romawi, Yunani dan Cina mengembangkan kemahiran memupuk tanah dengan abu, sisa tanaman atau kotoran ternak. Orang Cina pada 4000 tahun yang lalu telah menerapkan semacam klasifikasi produktivitas tanah, a.l. untukdasar penetapan pajak bumi (Bennett, 1939; Joffe, 1949; Russell, 1963).
Pengetahuan akan ada kalau ada kebutuhan segera. Macam pengetahuan yang timbul, atau arah perkembangan suatu pengetahuan tertentu, tergantung pada lingkungan atau keadaan tempat yang menimbulkan kebutuhan akan pengetahuan itu. Pengumpulan pengetahuan berdasarkan pengalaman setempat dapat dikerjakan oleh orang awam. Akan tetapi menghimpun pengetahuan yang terpisah-pisah sehingga menjadi suatu sistem pengertian, atau menumbuhkan ilmu pengetahuan, hanya dapat dilaksanakan oleh para pakar atau ahli yang berminat. Oleh karena para cendekiawan sudah jauh lebih dulu menekuni ilmu-ilmu kealaman yang lain maka kemunculan ilmu tanah masih harus menunggu lama lagi sampai ada diversifikasi minat di kalangan para ahli pikir itu.
Saat tersebut akhirnya tiba juga pada menjelang akhir abad ke-18. Tanah mendapatkan perhatian dari para cerdik pandai yang biasa berkecimpung dalam bidang kimia, fisiologi tumbuhan, bakteriologi dan geologi beserta bidang ikutannya petrografi dan mineralogi. Terbawa dari latar belakang disiplin ilmu masing-masing, mereka memperlakukan tanah sebagai suatu bahan. Orang geologi menganggap tanah sebagai bahan sisa pelapukan batuan. Mereka mengkaji tanah untuk menyidik kembali batuan asal mulanya menurut mineral dan sibir (fragment) batuan yang tersisa dalam bahan tanah. Orang ilmu kimia dan fisiologi tumbuhan memusatkan perhatian mereka pada unsur penyusunan tanah dan mengaitkannya dengan keharaan tanaman. Orang bakteriologi mementingkan unsur atau senyawa penyusun tanah yang dihasilkan oleh kegiatan biologi, khususnya oleh kegiatan jasad renik.
Berkat kemajuannya yang pesat dan berhasil, ilmu kimia untuk sementara waktu merajai pandangan ilmiah. Ilmu ini memiliki sarana penelitian ampuh berupa pemikiran dan kegiatan analitik. Sumbangan Boussingault di Perancis dan Liebig di Jerman kepada ilmu kimia pertanian dapat dicatat sebagai tonggak sejarah penting bagi perkembangan ilmu tanah. Terutama "teori mineral" dan "hukum minimum" Liebig yang diumumkannya pada tahun 1840 telah menghidupkan ilmu kesuburan tanah, suatu cabang ilmu tanah yang bertumbuh pesat dan menjadi cikal-bakal revolusi hijau yang terjadi pada abad ke-20. Dengan teori dan hukum tersebut Liebig sekaligus menumbangkan "teori humus" Thaer yang diajukan 30 tahun sebelumnya. Dapat dicatat bahwa ilmu kesuburan tanah modern menggabungkan teori humus dan teori mineral menjadi satu kesatuan dan menjabarkan ulang hukum minimum menjadi hukum neraca hara.
Di bawah asuhan ilmu kimia, pengkajian tanah maju dengan pesat. Ilmu tanah berhutang budi kepada kimia atas sumbangannya berupa metode dan tatacara penelitian serta hukum dasar kimia yang diterapkan pada tanah selaku medium produksi pertanaman. Akan tetapi di balik keberuntungan ini terdapat kerugian yang tidak kecil. Pengaruh ilmu kimia yang begitu kuat telah menghambat perkembangan pengkajian tanah menjadi disiplin ilmu yang hakiki dan mandiri. Pengkajian tanah menjadi bawahan ilmu kimia. Dengan konsep kimiawi tanah hanya dapat dipandang sebagai bahan dan tidak dapat dilihat tanah sebagai suatu tubuh alam yang khas. Geologi juga memberikan saham pada kekeliruan konsep ini. Pada waktu menekuni tanah sebagai limbah batuan, seorang pakar geologi tidak mempedulikan hubungan tanah dengan lingkungannya. Tanah dianggapnya hanya berkaitan langsung dengan batuan yang telah dan sedang mengalami pelapukan, dan tidak ada faktor lain di luar batuan dan pelapukan yang ikut serta menghadirkan tanah.
Fisika juga memberikan sumbangan yang sangat berarti kepada kemajuan pengkajian tanah. Berbagai sifat fisik dan mekanik tanah yang penting dapat di diungkapkan dengan teori dan hukum fisika. Akan tetapi sebagaimana ilmu kimia, fisika juga memandang tanah semata-mata sebagai bahan dan bukan sebagai tubuh.
Kita tahu sekarang bahwa pengkajian dan penyelesaian persoalan tanah tidak semudah dugaan orang sampai akhir abad ke-l9. Membawa cuplikan (sample) tanah ke laboratorium untuk dianalisis sifat-sifat kimia, fisik, mineralogi dan/atau biologinya belum dapat memecahkan persoalan. Demikian pula halnya membawa tanah ke rumah kaca untuk percobaan pot.
Tonggak sejarah penting berikutnya bagi perkembangan pengkajian tanah datang pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Tonggak yang satu dipancangkan di Rusia oleh Dokuchaev dan murid-muridnya pada tahun 1883, dan tonggak yang lain dipancangkan di Amerika Serikat oleh Hilgard pada tahun 1877. Dokuchaev berlatarbelakang pendidikan geologi dan mineralogi, sedang Hilgard di samping berpendidikan geologi juga kemudian menguasai zoologi, botani dan agronomi (Joffe, 1949). Oleh kepeloporan kedua sarjana ini pandangan tentang hakekat tanah berubah dari bahan menjadi tubuh. Konsep tanah sebagai tubuh alam merupakan pembaharuan total atas pandangan sebelumnya. Tanah bukan sekadar bahan kimiawi atau benda fisik yang ditemukan di lapangan, bukan semata-mata substrat yang menghidupkan dan menghidupi tumbuhan, bukan hanya dunia jasad renik yang kaya raya, dan bukan pula sekadar limbah batuan. Tanah adalah suatu kenyataan alam yang mandiri.
Tanah mempunyai asal-usul, diwujudkan di bawah kuasa faktor lingkungan tertentu melalui berbagai proses khas dan rumit, serta terdistribusikan di muka daratan dengan pola yang dapat ditakrifkan (distributed with definable patterns). Tanah merupakan suatu sistem terbuka menurut peredaran bahan dan energi. Kemaujudannya bertumpu pada daya tanggap tubuh tanah terhadap kakas (forces) yang bertanggung jawab atas pembentukan tanah. Kesudahan tanggapan ini terekam pada morfologi tubuh tanah (profil tanah) yang terbentuk oleh berbagai proses alihrupa dan alihtempat intemal (internal transformations and translocations).
Pada waktu dikuasai ilmu kimia, pengkajian tanah berkonsep statika. Buah penelitiannya adalah cuplikan tanah dari lapisan perakaran tanaman dan ruang kerjanya adalah laboratorium. Dengan konsep baru, ilmu tanah berurusan dengan dinamika tanah, berarti waktu menjadi faktor penting secara mutlak dalam menghadirkan sifat tanah. Tanah mernpakan perujudan suatu keseimbangan dinamik. Pada tahana tunak keseimbangan dinamik (steady state of dynamic equilibrium), anasir-anasir tanah berada dalam keselarasan timbal balik (mutually adjustment) dan tubuh tanah mencapai taraf matang. Kematangan ini bersifat nisbi. Apabila kelakuan faktor-faktor berubah maka proses penyelarasan timbal-balik antar anasir tanah berulang kembali menuju ke pencapaian keseimbangan dinamik baru. Dengan konsep baru ini buah telaah adalah keseluruhan tubuh tanah dan ruang kerjanya adalah lapangan tempat tubuh tanah itu berada. Cuplikan tanah dan laboratorium menjadi pelengkap penelitian untuk meningkatkan daya sidik dan daya ramal. Semua hasil penetapan laboratorium atas cuplikan tanah dikorelasikan satu dengan yang lain, baik secara vertikal untuk memperoleh rujukan tubuh maupun secara lateral untuk memperoleh rujukan bentangan. Dengan demikian tiap data tanah berada dalam suatu sistem informasi yang bermatra ruang. Dengan menginferensikan ciri-ciri tubuh tanah pada sejarah bentanglahan (landscape) tempat tubuh tanah berada, data tanah memperoleh pula matra waktu.
Setelah berhasil melahirkan konsep khusus tentang hakekat tanah dan berhasil menguraikan hukum yang mengatur faktor pembentuk tanah, barulah pengetahuan tanah menjadi suatu disiplin ilmu yang benar-benar mandiri. Ilmu kealaman yang lain, seperti ilmu kimia, fisika, biologi dan geologi, bukan lagi "bapak angkat" ilmu tanah melainkan alat. Bahkan kini matematika dan statistika sudah menjadi alat penting sekali dan lazim digunakan oleh ilmu tanah, khususnya dalam pengacuan (modelling) reaksi yang berlangsung dalam tanah dan interpolasi batas bentangan jenis tanah di medan (geostatistics).
Ilmu tanah masih muda sekali, boleh dikatakan umurnya kini baru sekitar satu abad. Akan tetapi dengan memiliki konsep baru maka sejak awal abad ke-20 ilmu tanah mengalami kemajuan pesat sekali. Dengan kelincahan dan kemahiran luar biasa, ilmu tanah memanfaatkan setiap kemajuan dalam ilmu kealaman yang lain dan dalam teknik analisis untuk memperkaya pandangan dan mencanggihkan metode penelitiannya. Bahkan kenyataan sosial dan ekonomi secara begitu cerdik dapat diramukan ke dalam ilmu tanah, misalnya yang dikerjakan oleh Profesor Edelman almarhum dalam bukunya "Sociale en Economische Bodemkunde" (1949). Joffe (1949) mengatakan bahwa ilmu tanah berdiri di antara ilmu tentang benda hidup dan tak hidup.
Ilmu tanah memperoleh matra lebih luas setelah klasifikasi dan pemetaan tanah berkembang pesat. Berkat fakta dan bukti yang terkumpul banyak selama penjelajahan medan secara intensif di kawasan dunia yang luas, konsep tanah sebagai sistem alam kemudian memperoleh konteks baru sebagai sumberdaya alam. Dengan ini ilmu tanah tidak saja berada di antara alam biotik dan abiotik, akan tetapi merangkaikan kedua alam tadi, dan bahkan memperoleh gatra sosial dan ekonomi sangat nyata. Dengan klasifikasi dan pemetaan tanah segala informasi tentang tanah memperoleh makna "tempat" dan penyalurannya menjadi lebih efektif karena dapat mengikuti asas ekstrapolasi atau adaptasi.
Sumber : Tulisan Prof. Tejoyuwono: "TRIDARMA ILMU TANAH : CITA-CITA DAN KENYATAAN"
Selengkapnya...
Label: Tanah-Lingkungan
Sejarah Perkembangan Ilmu Tanah