Pemanfaatan sumberdaya lahan oleh manusia merupakan suatu kebutuhan yang tak terpisahkan dari kehidupan. Kebutuhan akan lahan berhubungan erat dengan kebutuhan manusia berupa pangan, sandang, dan papan serta energi. Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat mengakibatkan tindakan pemanfaatan sumberdaya lahan pun semakit pesat. Permintaan terhadap lahan untuk berbagai bidang kehidupan, salah satunya lahan pertanian menjadi semakin meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan basah (dalam hal ini rawa dan gambut) menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian.
Lahan basah memiliki keunikan tersendiri dan khas dibanding sumberdaya lahan lainnya. Lahan basah pada umumnya merupakan wilayah yang sangat produktif dan mempunyai keanekaragaman yang tinggi, baik keanekaragaman hayati maupun non hayati, sehingga diyakini bahwa lahan basah merupakan salah satu sistem penyangga kehidupan yang sangat potensial. Meskipun lahan basah dapat dimanfaatkan untuk penggunaan lahan lainnya, namun dalam pemanfaatannya manusia seringkali mengedepankan fungsi produksi dibandingkan dengan fungsi lingkungan. Hal ini menjadi penyebab terjadinya kerusakan dan pencemaran serta kehilangan lahan basah sehingga tak dapat menjalankan fungsi lingkungannya.
Lahan Basah
Lahan Basah (wetlands) adalah salah satu ekosistem yang paling penting di bumi karena kondisi hidrologi yang unik dan perannya sebagai ecotones (zona peralihan) antara sistem daratan dan perairan (Mitsch dan Gosselink, 1993).
Berdasarkan hasil Konvensi Ramsar 1971, pengertian lahan basah secara internasional adalah:
“Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut”.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa cakupan lahan basah di wilayah pesisir meliputi terumbu karang, padang lamun, dataran lumpur dan dataran pasir, mangrove, wilayah pasang surut, maupun estuari; sedang di daratan cakupan lahan basah meliputi rawa-rawa baik air tawar maupun gambut, danau, sungai, dan lahan basah buatan seperti kolam, tambak, sawah, embung, dan waduk. Untuk tujuan pengelolaan lahan basah dibawah kerangka kerjasama Internasional, Konvensi Ramsar, mengeluarkan sistem pengelompokan tipe-tipe lahan basah menjadi 3 (tipe) utama yaitu (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004):
- Lahan basah pesisir dan lautan, terdiri dari 11 tipe antara lain terumbu karang dan estuari.
- Lahan basah daratan, terdiri dari 20 tipe antara lain sungai dan danau.
- Lahan basah buatan, terdiri dari 9 tipe antara lain tambak dan kolam pengolahan limbah.
Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta zat hara. Proses yang terjadi antar-komponen dan di dalam tiap komponen membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu, dapat membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal khas pada skala ekosistem (Notohadiprawiro, T., 1997).
Fungsi dan nilai lahan basah antara lain adalah mengatur siklus air, menyediakan air permukaan dan air tanah, serta mencegah terjadinya banjir dan kekeringan. Seiring dengan pesatnya pembangunan di berbagai sektor, keberadaan potensi sumberdaya air di kawasan lahan basah (kawasan gambut, kawasan resapan air, sempadan sumber air, pantai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan pantai berhutan bakau, dan rawa) menjadi semakin terancam kelestariannya.
Kekhasan pemandangan lahan basah dan bentuk kehidupan yang ada di dalamnya menarik wisata alam (Dugan, 1990). Tampakan-tampakan khas lahan basah berupa keanekaragaman hayati, warisan alam dan pemandangan rekreatif memunculkan kebutuhan akan mempertahankan keutuhan lahan basah.
Kerusakan dan Pencemaran Lahan Basah
Pada awalnya lahan basah dijauhi karena merupakan sarang nyamuk yang dapat menimbulkan penyakit malaria. Dengan alasan ini pula merupakan salah satu penyebab terjadinya pembukaan lahan basah untuk memberantas sarang nyamuk dan penyakit yang ditimbulkannya. Sekitar akhir 1800-an lahan basah dianggap sebagai penyebab nyamuk malaria, sehingga kegiatan untuk pengeringan lahan basah menjadi luas. Seiring dengan perkembangan teknologi tahun-tahun berikutnya, kerugian dan kerusakan dari lahan basah semakin terus bertambah karena alasan tersebut, dan sebagai alasan untuk mendapatkan lahan pertanian, membuka pemukiman dan lain-lain, yang tergambar pada kontrol dan eksploitasi alam oleh manusia, meletakkan dasar bagi pemberantasan lahan basah (Caliskan, 2008). Lahan basah telah dikeringkan, berubah menjadi lahan pertanian dan perkembangan komersial dan residensial pada tingkat yang mengkhawatirkan (Mitsch dan Gosselink, 1993).
Konversi lahan basah yang telah berlangsung berabad-abad di berbagai bagian dunia telah merusakkan jutaan hektar lahan basah, terutama di negara-negara industri. Pengembangan pertanian paling banyak menghilangkan lahan basah (Notohadiprawiro, 1996). Sebagai contoh, Sejak kedatangan orang Eropa ke Amerika, setengah dari lahan basah di AS telah hilang (Özeesmi, 1997 dalam Caliskan, 2008). Meskipun nilai intrinsiknya besar, lahan basah telah kehilangan sistem tanahnya di bawah penggunaan manusia, sehingga sebagian besar lahan basah di Eropa, dan Mediterania pada khususnya, telah hilang (Hollis, 1995). Di Spanyol, diperkirakan bahwa lebih dari 60% dari lahan basah telah hilang dalam 50 tahun terakhir. Semenanjung Iberia barat tengah 94% dari lahan basah asli menghilang pada periode antara 1896 dan 1996 (Gallego-Fernandez, et al., 1999.
Potensi lahan basah cukup baik untuk usaha pertanian, perikanan, kehutanan, dan peternakan. Di Indonesia sejak tahun 70-an pemerintah telah melakukan pengembangan berbagai usaha tersebut di lahan basah di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua melalui kegiatan pengembangan pemukiman, namun sayang, tidak semua wilayah pengembangan berhasil, banyak juga yang tidak berkembang (mal-developed). Ekosistem lahan basah sebelum dibuka memberikan banyak hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar, berbagai jenis ikan dan hasil-hasil lainnya. Setelah lahan tersebut dibuka, hasil-hasil tersebut menurun drastis akibat berbagai masalah lingkungan di lahan yang dibuka maupun di lahan lain di sekelilingnya. Berbagai masalah lingkungan tersebut antara lain masalah penurunan permukaan tanah (subsidence), penurunan pH tanah dan badan air oleh karena sulfat masam, banjir, kekeringan, kebakaran hutan gambut, dan sebagainya. Beberapa masalah tersebut merupakan bencana nasional. Akibatnya secara umum daya dukung lahan bagi kehidupan menurun drastis (Poniman, dkk., 2006.
Penyusutan luas kawasan lahan basah di daerah padat penduduk terjadi akibat kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian, dan industri. Hal tersebut seperti antara lain menyebabkan terjadinya upaya reklamasi dengan menimbun ekosistem pantai dan rawa serta pembelokan, penyempitan, maupun pelebaran sungai untuk pembangunan infrastruktur. Di samping itu penyusutan juga terjadi di kawasan hutan dan kawasan yang dilindungi, hal ini umumnya terjadi akibat bencana alam seperti kebakaran dan juga akibat ketidakjelasan tata batas kawasan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004.
Kerusakan lahan basah juga bisa berupa pencemaran yang kemudian menyebabkan perubahan kesetimbangan ekologis lahan basah, sedimentasi danau dan rawa, masuknya invasive alien spesies, dan pengurasan sumberdaya akibat pemanfaatan berlebih. Kerusakan yang terjadi menyebabkan banyak kawasan lahan basah terutama rawa dan danau mengalami pendangkalan, eutrophikasi, hilangnya spesies asli, dan menurunnya kesejahteraan masyarakat (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004.
Pada daerah tertentu, aktivitas yang dilakukan dalam upaya untuk pengembangan atau kelangsungan hidup dapat menyebabkan pencemaran. Pencemaran lahan basah menimbulkan ancaman serius terhadap struktur dan fungsi ekosistem lahan basah (Mitsch dan Gosselink, 2000; Lamers et al, 2002. Pencemaran pada lahan basah terjadi tiada lain akibat aktivitas manusia (human-induce) yang berada baik di dalam maupun di luar lingkungan lahan basah. Pada umumnya sumber pencemaran berasal dari aktivitas manusia yang menghasilkan limbah buangan (residu) dan polutan yang dibuang sembarangan. Kebanyakan pencemaran terjadi pada badan air sehingga menurunkan kualitas air.
Lahan basah yang telah menjadi korban pencemaran sebagian besar berdekatan dengan daerah berikut (Mkuula, 1993):
- Pusat-pusat perkotaan; Pesatnya pembangunan dan peningkatan penduduk merambah sebagian lahan basah sebagai bagian dari perkotaan. Proses urbanisasi yang cepat mempengaruhi pencemaran yang semakin parah akibat pembuangan sampah (limbah padat) dan limbah cair yang berasal dari penduduk, domestik, dan industri.
- Daerah yang dekat industri berpolusi besar, seperti pengolahan sisal (serat; Industri merupakan sumber utama polusi air, udara dan tanah. Limbah industri dapat mengandung logam berat seperti merkuri, timbal krom, dan kadmium; garam sianida, nitrit dan nitrat, bahan organik, mikro-organisme dan nutrisi, bahan kimia dan beracun seperti pestisida.
- Daerah di mana pertambangan merupakan sarana utama pendapatan; Sumberdaya yang terkandung di lahan basah sangat potensial untuk dikelola khususnya pertambangan. Tak jarang kita temui lokasi tambang yang berada di sekitar lahan basah. Pencemaran yang timbul dari kegiatan pertambangan sangat memprihatinkan. Dengan munculnya pengeboran gas alam dan mungkin minyak di wilayah pesisir, mungkin ada dampak negatif yang sangat besar pada laut terutama rapuhnya lahan basah, dan pesisir. Pada skala pertambangan besar yang terorganisir, dampak lingkungan relatif mudah untuk dicegah dan dikendalikan. Namun, pertambangan skala kecil tidak terorganisir dan tidak terkendali telah melakukan kerusakan luar biasa untuk lingkungan. Overburden merupakan sampah utama yang dihasilkan oleh industri pertambangan. Fraksi komoditi yang berguna biasanya sangat kecil, dan sisanya adalah batu dan tanah sampah yang dibuang tanpa memperhatikan lingkungan.
- Daerah di mana aplikasi pestisida sangat luas; Pestisida menimbulkan masalah pencemaran lingkungan ketika dibuang ke lingkungan karena beracun bagi banyak spesies non-target. Beberapa pestisida tetap aktif untuk waktu yang lama atau dapat terurai menjadi senyawa yang lebih beracun. Sumber-sumber pencemaran pestisida berasal dari penyimpanan dan pengelolaan yang tidak. Kurangnya kesadaran akan bahaya terkait dengan penanganan pestisida semakin merumitkan masalah. Air adalah penerima utama polutan pestisida. Sekitar 50% dari pestisida yang disemprotkan ke tanaman jatuh di tanah atau terbawa oleh angin dan memasuki badan air melalui air hujan atau irigasi. Beberapa pestisida akhirnya mencemari air minum.
Mitigasi Kerusakan dan Pencemaran Lahan Basah
Dalam pengertian umum, mitigasi berarti mengurangi kerusakan lingkungan dengan menghindari, meminimalkan, dan kompensasi untuk kegiatan yang merusak atau menghancurkan sumber daya yang dilindungi (Anonim, 2003).
Ada tiga jenis mitigasi umumnya diakui sebagai metode yang dapat diterima untuk mengkompensasi dampak kerusakan lahan basah: restorasi (restoration), penciptaan (creation), dan peningkatan (enhancement). Restorasi lahan basah mengacu pada pembentukan kembali (reestablishment) dari lahan basah di suatu daerah di mana secara historis lahan basah ada tapi yang nampak sekarang sedikit atau tidak adanya fungsi lahan basah. Penciptaan (creation) lahan basah mengacu pada pembuatan lahan basah di daerah yang bukan lahan basah di masa lalu. Peningkatan (enhancement) mengacu pada peningkatan satu atau lebih fungsi dari ada lahan basah (Kruczynski, 1990).
Dalam konteks lahan basah, mitigasi sering diartikan sebagai kompensasi, dan berarti restorasi, penciptaan, peningkatan, atau beberapa tindakan lain yang dilakukan untuk tujuan spesifik dari kompensasi untuk kerusakan atau kehancuran lahan basah (Anonim, 2003). Selain dari ketiga metode yang umumnya dilakukan dalam kegiatan mitigasi lahan basah, menurut Morgan dan Robert (1999) metode yang paling sering juga digunakan namun menjadi pilihan terakhir adalah pelestarian (preservation). Kegiatan pelestarian merupakan kegiatan yang dilakukan untuk tetap mempertahankan kondisi lahan basah yang ada dalam menjalankan fungsinya (Odum dan Turner, 1987).
Banyak peneliti telah menawarkan kesimpulan tentang berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan kegiatan mitigasi saat ini dan masa depan. Umumnya dapat digambarkan dalam lima kategori. Ini termasuk (Castelle, et al., 1992):
• Informasi teknis dan ilmiah;
• Perencanaan proyek dan pelaksanaan;
• Tipe lahan basah;
• Fungsi lahan basah;
• Jenis mitigasi, dan
• Waktu.
TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG INI
Silahkan tinggalkan komentar anda2 komentar tentang “MITIGASI KERUSAKAN DAN PENCEMARAN LAHAN BASAH”
wah bagus nih... thanks buat makalah saya selesai hehehe
kunjung balik yah ke http://redanorak.blogspot.com/ kalo sempat Follow juga, nanti ane follow balik
bagus...mencerdaskan kandungan informasinya. Tks atas dedikasinya menuliskan pemikirannya di blog, sehingga bisa di akses orang banyak.
Posting Komentar