MITIGASI KERUSAKAN LAHAN PERTAMBANGAN

Dampak kegiatan pertambangan terhadap lingkungan tidak hanya bersumber dari pembuangan limbah, tetapi juga karena perubahan terhadap komponen lingkungan yang berubah atau meniadakan fungsi-fungsi lingkungan (Dyahwanti, 2007). Kerusakan yang terjadi jika tidak segera ditanggulangi akan berdampak lebih buruk kedepannya bagi lingkungan dan menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya penanggulangan atau pengurangan risiko dampak (mitigasi) yang akan ditimbulkan sehingga lahan bekas pertambangan dapat bermanfaat di masa mendatang.

Mitigasi kerusakan lahan akibat aktivitas pertambangan dapat dilakukan melalui kegiatan reklamasi. Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 tahun 2008 yang dimaksud reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menatakegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan peruntukkannya. Selain melakukan upaya penanggulangan kerusakan secara fisik, kimia, dan biologi melalui kegiatan reklamasi, juga dibutuhkan peran serta pemerintah melalui aturan dan kebijakan yang berfungsi sebagai kontrol dan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan tambang dalam melakukan kegiatan reklamasi tambang.

Untuk mencegah timbulnya berbagai kerusakan permanen, pemerintah telah mengeluarkan berbagai aturan dan kebijakan yang menyangkut reklamasi lahan bekas tambang dalam:

  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1969Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pecegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Pertambangan Umum.
  • Keputusan Dirjen Pekerjaan Umum Nomor 336 tahun 1996 tentang Jaminan Reklamasi.
  • Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.


Aturan-aturan mengenai reklamasi ini ditujukan agar pembukaan lahan untuk pertambangan dilakukan seoptimal mungkin, dan setelah digunakan segera dipulihkan fungsi lahannya. Demi tercapainya tujuan melalui aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan maka diperlukan pengawasan secara rutin dan mengevaluasi kemajuan kegiatan reklamasi oleh instansi pemerintah terkait terhadap perusahaan-perusahaan tambang.

Secara teknis usaha reklamasi lahan tambang terdiri dari:

a. Rekonstruksi Lahan

Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu (Rahmawaty, 2002). Menciptakan bentuk lahan yang stabil dan terlihat sesuai dengan landscape alami sekelilingnya serta harmonis dengan pola vegetasi wilayah dan hidrologi permukaan. Landscaping tanpa pengendalian erosi dapat mengakibatkan tanah pucuk hanyut terbawa aliran air. Teknik pengendalian erosi dapat dilakukan dengan cara mendesain lereng selandai mungkin, pada lereng landai dibuat guludan, dan pada lereng curam dibuat teras (Ghose, 2004).

Pengembalian bahan galian ke asalnya (top soil spreading) diupayakan mendekati keadaan aslinya agar memenuhi syarat sebagai media pertumbuhan tanaman. Pada umumnya digunakan material OB atau batuan limbah sebagai dasar, agar memenuhi syarat sebagai media pertumbuhan tanaman, di atas lapisan OB ditaburi dengan tanah pucuk (Ghose, 2004). Untuk mempertahankan kondisi tubuh tanah yang telah diperbaiki, sebaiknya diberi mulsa atau langsung ditanami dengan tanaman penutup tanah (land cover crop) agar mencegah terjadinya erosi.

b. Revegetasi

Kendala yang dijumpai dalam mereklamasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity. Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan mikroriza (Rahmawaty, 2002).

Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, tanaman asli lokal, atau tanaman kehutanan introduksi, dan lain-lain (Izquierdo et al, 2005). Misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Menurut Soesilo (2007 dalam Ridwan, 2007) juga dapat dilakukan penanaman tanaman jarak pagar, selain mampu mereklamasi bekas lahan tambang dalam waktu singkat, tanaman ini juga menghasilkan sumber energi terbarukan berupa biodisel. Untuk menunjang keberhasilan dalam mereklamasi lahan bekas tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk serta bahan amelioran lainnya (Rahmawaty, 2002).

c. Penanganan potensi air asam tambang (AAT) dan remediasi tanah tercemar

Pembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida pada udara bebas. Penanganan air asam tambang dapat dilakukan dengan mencegah pembentukannya dan menetralisir air asam yang tidak terhindarkan terbentuk. Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral sulfida sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak terpapar pada udara bebas. Sebaran sulfida ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung, serta dihindari terjadinya proses pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah (Suprapto, 2008b).

Remediasi tanah bekas tambang yang tercemar dapat dilakukan dengan melakukan ameliorasi. Tindakan ameliorasi dapat meningkatkan proses-proses biogeokimia yang secara efektif dapat menginaktivasi fraksi aktif logam berat pada tanah tercemar. Selain itu, aplikasi beragam amelioran dapat meningkatkan pertumbuhan vegetasi, mempertahankan populasi dan keragaman mikrob, serta menurunkan pengalihan logam berat ke air tanah (Adriano et al. 2004). Salah satu aplikasi ameliorasi yang dapat digunakan yaitu penggunaan zeolit. Ameliorasi menggunakan zeolit alam maupun sintetis dapat menurunkan serapan tanaman terhadap Cu, Cd, Pb dan Zn (Moirou et al. 2001; Oste et al. 2002). Aplikasi 10% w/w zeolit alam clinoptilolite menurunkan kelarutan Cd (32%) dan Pb (38%) pada tanah tercemar bekas lahan tambang (Moirou et al. 2001). Penggunaan zeolit sintetis (mordenite, faujasite, zeolit X, zeolit P, zeolit A) dan zeolit alam clinoptilolite menurunkan kadar Cd dan Zn tanah dan jaringan tanaman (Oste et al. 2002).

d. Penutupan tambang dan kepedulian sosial

Lahan bekas tambang tidak selalu dikembalikan ke peruntukan semula. Hal ini tergantung pada penetapan tataguna lahan wilayah tersebut. Penentuan tataguna lahan pasca tambang sangat tergantung pada berbagai faktor antara lain potensi ekologis lokasi tambang dan keinginan masyarakat serta pemerintah. Bekas lokasi tambang yang telah direklamasi harus dipertahankan agar tetap terintegrasi dengan ekosistem bentang alam sekitarnya (Bapedal, 2001). Tujuan akhir reklamasi lahan pasca penambangan adalah pilihan optimal dari berbagai keadaan dan kepentingan. Selain itu perlu diingat bahwa reklamasi merupakan kepentingan masyarakat banyak, sehingga tujuan reklamasi tidak boleh hanya ditentukan sendiri oleh perusahaan pertambangan yang bersangkutan (Yusuf, 2008). Pada tahap akhir, porsi keterlibatan masyarakat menjadi paling dominan dengan porsi perusahaan yang paling kecil. Proses ini terus berlanjut hingga perusahaan benar-benar lepas dari mekanisme penutupan tambang. Maka, terciptalah daerah baru yang penopang perekonomiannya tidak berasal dari tambang, sehingga harapan terwujudnya pembangunan berkelanjutan bisa tercapai (Eggert, 2001).


Share/Bookmark

TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG INI

Silahkan tinggalkan komentar anda

0 komentar tentang “MITIGASI KERUSAKAN LAHAN PERTAMBANGAN”

Posting Komentar